Tak ada yang meragukan kapasitas keilmuan syekh Yusuf al Qardhawi terutama
dalam bidang Fiqih. Tokoh yang menjadi ketua dari persatuan ulama muslimin
Internasional (al Ittihad al ‘Alami li al ‘ulama al Muslimin) ini
dikenal sebagai ulama yang sangat produktif dan terkenal moderat. Ide beliau
tentang wacana fiqih minoritas( al Fiqh al Aqalliyat) adalah bukti
keluasan ilmu dan sikap moderat beliau. Meskipun pendapatnya banyak dianggap
nyeleneh(syadz), banyak para ulama yang terkesima dengan keluasan ilmunya,
tentu saja tidak sedikit juga yang mengkritik. Namun selama ini, pro kontra
pemikiran beliau masih dipandang sebagai dialektika dalam ranah intelektual
biasa sebagaimana perbedaan pendapat para ulama terdahulu.
Namun kondisi yang berbeda terjadi saat revolusi Arab(Arab Spring)
meletus. Revolusi berdarah yang banyak melibatkan pengikut ikhwanul muslimin
ini mengundang keberpihakan sikap Qardhawi sebagai bapak spiritual organisasi
tersebut. Dalam menyikapi revolusi Suriah, beliau bahkan mengeluarkan fatwa
yang membolehkan untuk membunuh semua pihak yang terlibat dalam mendukung
pemerintah, baik tentara, rakyat sipil, bahkan ulama(http://www.alalam.ir/news/1457809).
Diksi terakhir yang disebutkan oleh Qardhawi ditenggarai khusus ditujukan
kepada tokoh ulama besar di Suriah, Syekh Ramadhan al Buthi dan mufti Suriah Syekh
Ahmad Badruddin Hassoun yang dikenal berada di pihak pemerintah. Sementara
dalam menyikapi revolusi Mesir, beliau adalah kritikus yang paling vokal
terhadap kudeta militer berikut penggulingan mantan presiden Mesir Muhammad
Mursi. Beliau juga dituding terlibat atas pembebasan beberapa tahanan ikhwanul
muslimin dan tindakan beberapa tindakan provokatif lainnya. Akibat dari
tindakan beliau tersebut, mahkamah Mesir menjadikan beliau sebagai tersangka
dan meminta kepada Interpol untuk merilis red notice yang berisi status buronan
beliau(http://classic.aawsat.com/details.asp?section=4&issueno=12813&article=755389#.VJiFNV4gF0).
Pemerintah Mesir tentu memiliki alasan dan bukti yang menurut mereka
cukup untuk menjadikan syekh Yusuf al Qardhawi sebagai tersangka. Desakan
mereka terhadap Interpol juga dapat dimaklumi karena nampak sulit untuk
mendesak pemerintah Qatar untung melepaskan beliau. Namun menurut kami,
alangkah baiknya apabila mahkamah Mesir memberikan kebijakan khusus terhadap
beliau, mengingat statusnya sebagai ulama yang tentu saja tidak bisa disamakan
dengan orang biasa.
Dalam hal ini, al Imam Muhammad bin Abdurrahman al Hubaisyi dalam buku
beliau yang bertajuk Nasyruthoy al Ta’rif, mengutip sebuah cerita
tentang seorang ahli Qiroat di Baghdad yang bernama ibn Syanabudz. Suatu ketika
beliau diketahui merubah beberapa huruf dari al Qur’an yang berbeda dengan
redaksi mushaf serta ijma’ ulama, lantas beliau membaca dengan tulisan tersebut
dan membacakannya kepada orang-orang. Hal ini memicu sikap ingkar masyarakat
dan menghadapkan beliau kepada seorang wazir yang bernama ibn Muqlah. Maka sang
wazir memenjarakan beliau dan memberikan hukuman yang keras. Ia memerintahkan
kepada algojo untuk memberi pukulan terhadap ibn Syanabudz agar beliau menarik kembali tindakannya dan
bertaubat. Hal tersebut terjadi pada tahun 323 Hijriyyah. Ibnu Syanabudz lantas
berdoa ketika menderita pukulan tersebut agar sang wazir dipotong tangannya dan
lumpuh saraf-sarafnya. Allah ta’ala kemudian mengabulkan doa tersebut. Ibn
Muqlah dipecat dari jabatannya setahun kemudian dan mendapat ujian berupa
pukulan dan penghinaan yang hebat, serta lumpuh saraf-sarafnya dan dipotong
tangan serta lisannya.
Menurut beliau(imam Abdurrahman al Hubaisyi), tindakan ibn Muqlah
didasarkan pada mengingkari hal yang wajib untuk diingkari terhadap setiap
orang yang berpedang teguh dengan agama, serta bertujuan untuk mengembalikan
ibn Syanbudz kepada kebenaran. Sedangkan Ibn Syanbudz telah melakukan tindakan
kemungkaran yang masyhur ketika meriwayatkan bacaan yang berbeda dengan
pendapat jumhur ulama. Akan tetapi, kekeliruan beliau dalam satu permasalahan
tidak lantas menjatuhkan martabat beliau sebagai pembawa al Qur’an dan ahli
ilmu. Menegur beliau dengan lembut adalah lebih tepat demi menjaga martabat
ilmu yang beliau miliki. (Nasyrutoy al Ta’rif, Abdurrahman al Hubaisyi,
hal 93/ Ma’rifah al Qurrah al Kibar,al Dzahabi/, juz 2 hal 546, al
Mursyid, Ibnu Abi Syamah)
Cerita di atas memberi kita pelajaran, bahwa betapapun kesalahan seorang
ulama, tidak lantas menjatuhkan martabatnya sebagai pengemban ilmu agama. Dalam
konteks syekh Yusuf al Qardhawi, sebaiknya pemerintah Mesir tidak menyamakan
perlakuan dan hukuman terhadap beliau sebagaimana perlakuan dan hukuman
terhadap pelaku kriminal lainnya demi menjaga martabat beliau dan ilmu yang
beliau miliki. Selain itu, potensi beliau sebagai tokoh yang berpengaruh di
kalangan ikhwanul muslimin sebenarnya bisa dimanfaatkan untuk balik menyadarkan
mereka. Meskipun terkenal sebagai ulama dengan ilmu yang luas, beliau tetaplah
anggota ikhwanul muslimin. Sebagaimana diketahui, bahwa setiap golongan akan
cenderung fanatik dan kehilangan objektivitasnya jika bersinggungan dengan
kepentingan golongannya. Bahkan ulama sekaliber beliaupun tidak luput dari
sifat manusiawi ini. Selain memberikan keringanan hukum terhadap beliau,
mendudukkan beliau di hadapan sidang para ulama terutama mufti-mufti Suriah
akan memberikan efek yang positif untuk menyadarkan pihak pemberontak.
Sisi Manusiawi Ulama Dan Sikap Kita
Ketika fitnah kholqi al Qur’an terjadi di Baghdad, imam Abu Ya’qub al
Buwathi termasuk diantara ulama yang berpegang teguh dengan madzhab ahlu sunnah
dan mengalami cobaan yang berat. Di sela-sela cobaan tersebut, beliau berkata:
برئ الناس من دمى إلا ثلاثة
حرملة والمزنى وآخر
“Manusia seluruhnya tidak memiliki tanggung jawab terhadap
darahku kecuali tiga orang, Harmalah, Muzanni, dan seorang lagi “
Kisah tersebut diriwayatkan oleh imam Ali bin Abdi al Kafi al Subki dari
Ja’far al Tirmidzi(Thabaqat al Syafi’iyyah al Kubro, juz 2 hal 164).
Adalah hal yang mengherankan, cobaan yang berujung kepada syahidnya
beliau ternyata tak lepas dari campur tangan ulama lainnya. Sejarah seperti ini
tidak hanya sekali terjadi dalam sejarah, di zaman sekarangpun, kita temukan
kisah cobaan seorang ulama besar yang
ikut andil di dalamnya ulama besar lainnya.
Meskipun banyak pihak yang mengaitkan fatwa Syekh Yusuf al Qardhawi
dengan syahidnya Syekh Ramadhan al Buthi, namun hal ini jangan sampai memicu
kita untuk menurunkan rasa hormat kita terhadap beliau. Tentu saja Kontra dan
kritik adalah hal yang biasa dalam perbedaan pendapat, namun hal tersebut harus
tetap dibarengi dengan menjaga adab kita terhadap para ulama. Dalam hal ini, al
Imam Ali bin Hasan Ibn Asakir berkata :
اعلم يا أخي وفقنا الله
وإياك لمرضاته وجعلنا ممن يغشاه ويتقيه حق تقاته أن لحوم العلماء مسمومة وعادة
الله في هتك أستار منتقصيهم معلومة وأن من أطلق لسانه
في العلماء بالثلب ابتلاه الله تعالى قبل موته بموت القلب
“Ketahuilah wahai saudaraku, mudah-mudahan Allah memberikan taufiq
kepada kita terhadap amal yang mengundang ridhanya. Ketahuilah sesungguhnya
daging ulama itu beracun. Dan kebiasaan Allah adalah menyingkap aib atau aurat
orang yang biasa membongkar aibnya para ulama. Barangsiapa melepaskan ucapannya
terhadap para ulama dengan mencelanya, maka Allah akan timpakan sebelum
kematiannya dengan matinya hati.(Tabyin kidzbi al Muftari, Hal 29)
Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda :
اتقوا زلة العالم ولا تقطعوه، وانتظروا
فيئته
“Hati-hatilah dengan kekhilafan seorang ‘alim dan jangan memutus
hubungan dengannya, dan tunggulah
Alhasil, Apa yang terjadi diantara para ulama jangan sampai menjadikan
kita bersikap kurang ajar kepada mereka. Kewajiban kita terhadap khilaf dan
kesalahan mereka adalah memakluminya sebagai sisi manusiawi mereka dan
menyerahkan urusan tersebut antara mereka dengan Allah ta’ala. Wallahu a’lam
(SY)