Komunitas Blogger

Komunitas blogger

El Bashiroh

Majalah El Bashiroh

موقف وسطى تجاه الإنترنت

موقف وسطي تجاه الإنترنت

Wednesday, August 24, 2011

Resensi Buku Minhat al Hamid Syarah Jauharoh al Tauhid (منحة الحميد علي شرح جوهرة التوحيد)





Judul                : منحة الحميد علي شرح جوهرة التوحيد /Minhatul Hamid ‘ala syarhi Jauharotut Tauhid
Penulis             : Ust. Qoimuddin
Penerbit           : Ponpes Darul Lughah wad Da’wah
Tebal               : 351 Halaman




Diskusi Ilmiah Seputar Akidah
Seiring dengan maraknya trend gaya hidup hedonis di akhir zaman ini, penyakit apriori terhadap nilai-nilai agama yang menimpa sebagian besar manusia sudah mencapai strata akut. Sementara itu agama Islam tiada henti-hentinya menerima serangan rudal-rudal imprealisme dari  musuh-musuhnya. Berbagai sektor ajaran Islampun tak luput dari incaran mereka. Tak ayal, dalam tempo yang relatif singkat, seorang yang tadinya muslim telah berganti identitas menjadi kafir. Yang sangat memprihatinkan, fenomena transformasi identitas ini terjadi dengan begitu halus tanpa disadari oleh para pelakunya. Realita ini sekaligus menjadi justifikasi terhadap sabda Rasulullah saw
 يصبح الرجل مؤمنا و يمسى كافرا
ketika itu seorang yang mu’min di pagi hari menjadi kafir di sore hari.
Teologi, ilmu ketuhanan atau konsep ketuhanan serta ideologi merupakan aspek yang paling rentan mendapat serangan. Hal ini tak lain karena keduanya merupakan fondasi yang menjadi motor penggerak segala aktivitas seseorang. Aspek yang termasuk dalam diskursus ilmu akidah ini merupakan neraca sekaligus filter yang mampu melakukan seleksi terhadap faham, ideologi, serta pemikiran lain yang juga hidup berdampingan. Jika fondasi ini telah terkikis atau samasekali habis, seseorang sudah tidak lagi memiliki media untuk menilai, menimbang, apalagi menyeleksi faham lain yang mengitarinya.
Rupanya hal inilah yang mengetuk hati ustadz Qoimuddin, ketua selaligus penanggung jawab Qismu Tarbiyah di Pondok pesantren Darul Lughah wad Da’wah untuk ikut memberikan andil dalam melindungi kemurnian akidah Islam dari berbagai serangan ideologi yang saat ini sedang gencar-gencarnya. Tak cukup hanya dengan kuliah yang beliau sampaikan terhadap kader-kader ulama (baca : santri), beliau juga menulis sebuah kitab dalam wacana teologis yang berjudul Minhatul Hamid yang merupakan komentar dari nadzom Jauharotut Tauhid karangan Syekh Ibrohim Al Laqoni (w. 1041 H).
            Secara garis besar kitab ini mengklasifikasi pembahasan ilmu tauhid menjadi empat kategori. Yaitu uluhiyyat, nubuwwat, sam’iyyat, dan ruhaniyyat. Sementara Kajian utama kitab ini tak lepas dari dua topik penting bagi umat Islam, yaitu akidah (teologis) dan tasawwuf (akhlak).
            Kajian dimulai dengan prolog berupa dasar-dasar ilmu tauhid dan hal-hal transendental yang wajib diketahui dan diimani oleh setiap orang. Seperti Definisi ilmu tauhid, objek pembahasan,serta hal-hal yang berhubungan dengan ma’rifat Allah ta’ala, hukum iman seorang muqollid, masa fatroh serta bentuk implikatifnya.
            Dalam konteks kekinian, muatan-muatan yang tersaji dalam beberapa sub pokok bahasan dalam kitab ini lebih diarahkan pada rehabilitasi akidah. Implikasinya, kitab ini memiliki konsep pembahasan dan argumentasi yang agak berbeda dengan kitab-kitab yang senafas dengannya.
            Dari sisi pembahasan, kitab ini tidak menerapkan konsep studi komparatif  seperti kebanyakan ulama dalam kitab-kitab mereka.  Jika kita menelaah karangan ulama-ulama ketika menyinggung masalah teologis, baik klasik maupun kontemporer semisal Usul fiqh Islami karangan Dr. Wahbah Az Zuhaili dan Rawai’ul bayan karangan Dr. Ali Ash Shobuni, kita akan menemukan komparasi berbagai  sekte ideologi dalam Islam seperti Asy’ariah, mu’tazilah dan maturidiyyah. Penulis lebih memfokuskan kajian pada madzhab asy’ariah yang merupakan madzhab tauhid dengan kuantitas penganut tebesar.
            Sedangkan dari sisi argumentasi, penulis cenderung menggunakan dalil naqli dan sedikit sekali menggunakan dalil aqli (rasio). Kalaupun ada, hanya pada beberapa masalah yang mengharuskan menggunakan rasio. Berbeda dengan pendahulunya semisal Hasyiyah Sanusi yang banyak sekali menggunakan rasio sebagai tendensi. Hal ini dikarenakan kitab-kitab teologi terdahulu lebih diorientasikan untuk mempertahankan ideology asy’arisme serta membantah ideologi-ideologi lain, khususnya mu’tazilah, yang telah terkontaminasi oleh kesesatan sebagian filsafat yang terus menyerang asy’arisme.
            Dari sisi metodologi penyusunan, kitab ini memiliki karakteristik yang mirip dengan kitab Al Ajwibah Al Gholiyah karangan Al Habib Zein bin Ibrohim bin Smith. Konsep Tanya jawab yang diterapkan memiliki nilai plus tersendiri dalam memudahkan orang-orang yang mengkaji kitab ini. Pertanyaan-pertanyaan seputar teologi disusun dengan rapi dan dijawab dengan sajian dalil-dalil yang  ilmiah-argumentatif dari alqur’an maupun hadis. Kerangka penulisannya memiliki peta yang jelas,terarah dan sistematis. Konsep seperti ini justru menepis statement  Imam Abu Hamid Al Ghazali dalam karyanya Iljamul ‘Awam, yang intinya melarang orang untuk menanyakan tentang hal-hal transendental karena dunia akidah adalah area rawan yang tidak semua orang bisa melaluinya, sedangkan orang awam tidak akan pernah faham.
            Kitab ini juga memiliki kajian khusus tentang beberapa kerancuan (syubuhat) yang sering dilontarkan rival-rival ahlus sunnah, baik intern agama maupun antar agama. Hal ini akan membantu pengkaji kitab ini dalam membantah tuduhan-tuduhan sarkastis yang acapkali dilontarkan untuk mengotori maupun melemahkan keyakinan umat Islam terhadap ahlus sunnah. Kolaborasi dalil yang dikemas dengan metodologi yang tepat membuat argumentasi penulis begitu kuat dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
            Sayangnya, meskipun argumentasi yang dilontarkan oleh penulis bersifat argumentatif-referentif, penulis tidak langsung mencantumkan referensinya dalam bentuk footnote seperti kebanyakan penulis kontemporer. Hal ini akan menyulitkan pengkaji kitab ini untuk mereferensi kitab ini dan melakukan kajian lebih lanjut. Meskipun begitu, di akhir kitab ini penulis mencantumkan 56 referensi primer maupun sekunder dalam daftar pustaka. Meski  tentunya tidak mudah untuk mengkaji referensi tersebut satu-persatu terutama bagi pemula, mengingat sebagiannya adalah kitab-kitab tebal yang berjilid-jilid.
            ‘Ala kulli hal, kitab ini tidak hanya wajib dibaca, baik oleh kalangan intelektual atau orang awam. Namun juga sebagai jawaban atas obsesi rival-rival ahlus sunnah yang sering mengusik keimanan kita dan mewaspadai berbagai macam aliran yang tidak sesuai dengan faham ahlus sunnah wal jama’ah. Buku ini teramat penting dimiliki, sebagai benteng akidah dari berbagai fitnah ahli bid’ah yang banyak muncul di akhir zaman dengan bahasa yag ringan dan mudah difahami.



Saturday, August 13, 2011

Resensi Buku Al Syamsu Al Muniroh(الشمس المنيرة)


Judul : Al Syamsu Al Muniroh (الشمس المنيرة)
Penulis : Al Habib Ali Bin Hasan Baharun
Penerbit : Pondok Pesantren Darul Lughah Wad Da’wah
Tebal : 2 Jilid (424 hal. dan 380 hal.)

Ensiklopedia Fiqh Ibadah


Sebagai makhluk yang diberi karakteristik kemampuan menalar oleh Allah ta’ala, manusia memiliki insting religiulitas dari dalam dirinya yang di dapat dari hasil tafakkur terhadap fenomena-fenomena alam di sekitarnya. Kesadaran ini dapat meluap-luap dan menuntut ruang ekspresi dalam alam realitas. Namun, manusia tidak memiliki hak untuk menentukan konsep ibadah mana yang akan diterima dan dikehendaki Allah ta’ala. Menentukan cara beribadah merupakan hak prerogratif yang hanya dimiliki Allah semata dan manusia tidak diberi ruang untuk melakukan intervensi. Atas dasar faktor-faktor inilah, beberapa bentuk ibadah yang tidak pernah diajarkan (ghoiru masyru’) adalah batil menurut persfektif fiqh.
Dari sinilah Allah ta’ala mengutus beberapa utusan kepada manusia (baca: Nabi) untuk menjelaskan konsep-konsep beribadah tersebut. Melalui lisan para utusan itulah, dengan dibarengi kitab suci merupakan landasan normatif yang menjadi sandaran syariat yang digariskan oleh Allah ta’ala. Landasan normatif tersebut kemudian melalui proses penyederhanaan melalui ijtihad para ulama yang memiliki kapasitas sebagai pewaris tugas kenabian sehingga mudah untuk difahami dan dipraktekkan oleh manusia. Hasil Ijtihad tersebut kemudian dikodifikasi dalam kitab-kitab mereka yang kita kenal dengan istilah kutubul fiqh.
Sebagai produk ijtihadi yang mengatur tindak tanduk manusia, fiqh selalu berkembang secara dinamis dan fleksibel sesuai dengan perkembangan zaman. Antara kitab fiqh yang satu dengan yang lainnya memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing sesuai dengan kapasitas dan latarbelakang penulisnya. Terkadang masalah yang dianggap urgen oleh penulis yang satu diabaikan oleh penulis yang lain. Bertolak dari hal inilah, penting kiranya muncul satu kitab yang mengkolaborasikan berbagai kitab tersebut, baik klasik maupun kontemporer secara selektif sebagai resume dan komparasi dari berbagai kitab fiqh tersebut. Diantara kitab yang menjawab kebutuhan tersebut adalah Asysyamsul muniroh yang disusun oleh al habib Ali bin Hasan Baharun.
kitab ini mendapat apresiasi dan sanjungan dari Al ‘Allamah Al Habib Zein bin Ibrohim bin smith dan Al ‘Allamah Al habib Salim bin Abdullah Asy Syatiri sebagai kitab yang mengumpulkan banyak masalah fiqh yang sangat urgen. Sebagai kitab yang bermula dari catatan kecil penulis, kitab ini memiliki kelebihan dengan menyimpan faidah-faidah fiqh urgen yang sering kita butuhkan dalam kasus sederhana sehari-hari yang acap kali terjadi, selain itu penulis juga langsung mencantumkan referensi dari setiap masalah yang disebutkan sehingga memudahkan bagi yang membacanya untuk melakukan kajian yang lebih lanjut. Kitab ini bermula dari sebuah catatan kecil penulis ketika sedang meniti studinya di Rubat Al Jufri Madinah. Sudah menjadi kebisaan di Rubat Madinah, pengajian yang di sampaikan oleh para masyayikh tidak hanya terfokus pada harokat dan ma’na ibaroh kitab seperti kebanyakan pesantren di Indonesia. Lebih dari itu, materi yang disampaikan merupakan resume dari berbagai kitab klasik yang dipilih secara selektif sebagai bentuk komentar dan komparasi dari kitab yang sedang dikaji. Selanjutnya para santri melakukan penelitian lebih lanjut tentang dari mana materi-materi tersebut berasal (referensi).
Pada dasarnya, penyusun tidak banyak memuat pandangan pribadi beliau dalam kitab ini. sebagaimana dijelaskan sebelumnya, kitab yang selesai pada hari Arofah tahun 1423 H ini tak lain merupakan kompilasi ibaroh fiqh. Tak heran, jika mayoritas hukum yang ditampilkan hanya mereferensi khazanah cendekiawan muslim, baik klasik maupun kontemporer. Berbagai pandangan tersebut kemudian diformulasikan dalam berbagai sub kajian (bab). Sistematika kajiannya pun telah menggunakan susunan modern.
Ketika pertama kali membaca kitab ini, mungkin akan terlintas di benak kita bahwa kitab ini tak ubahnya ensiklopedia kecil yang hanya menerapkan konsep copas (copy paste) dalam penyusunannya, namun Jika kita mengkaji secara komprehensif isi kitab ini, kita akan dibuat kagum dengan ketelatenan penyusunnya dalam menyeleksi berbagai ibaroh fiqh dari berbagai Kitab. Sebab jika kita amati baik-baik, ibaroh –ibaroh yang ditampilkan merupakan ibaroh-ibaroh pilihan yang merupakan keunikan tersendiri yang tidak terdapat dalam kitab lainnya. Dalam beberapa masalah beliau juga memberikan catatan-catatan penting berupa penjelasan dari kata dan istilah yang kurang begitu dimengerti (ghorib), beliau juga memberikan sedikit komentar sebagai tambahan dari beberapa ibaroh yang dirasa perlu dalam bentuk footnote. Disamping itu, beliau juga meringkas beberapa ibaroh yang terlalu panjang dengan tetap menjaga esensi dan maksud dari ibaroh tersebut agar untuk menjaga efektifitas kajian.
Dari sisi pembahasan, kitab ini mirip dengan kitab Safinatun Naja yang membatasi kajian dalam lingkup permasalahan ubudiyyah (ceremony ritual). Masalah yang dibahas terbatas pada masalah Thoharoh (bersuci), shalat, puasa, zakat, dan haji. Sedangkan masalah mu’amalah (transaksi), munakahah (pernikahan) dan jinayat (hukum pidana) tidak dibahas dalam kitab ini. Hal ini melahirkan tantangan baru yang cukup menarik, sebab tidak mudah untuk membuat takmilah (sekuel) dari kitab ini mengingat kekayaan dan sistematika kitab tersebut yang sulit untuk dibuat bandingannya.
Sayangnya dalam kitab ini aura kontekstual-kontemporer kurang begitu terasa, berbeda dengan kitab-kitab fiqh modern yang lebih berorientasi pada permasalah-permasalah aktual semisal Syarh Yaqutun Nafis, kitab ini kurang banyak membahas masalah-masalah baru tersebut. Akan tetapi, bagi mereka yang terbiasa melakukan kontekstualisasi terhadap kitab-kitab fiqh klasik dapat melakukan kajian mendalam terhadap kitab ini. Sebab meskipun tidak disebutkan secara eksplisit (mantuqul ‘ibaroh), namun pemahaman mendalam dan komprehensif terhadap kitab ini berikut referensinya akan sangat memudahkan untuk melakukan kontekstualisasi yang disebutkan secara implisit (mafhumul ‘ibaroh).
Menjawab kebutuhan masyarakat khususnya kaum santri terhadap fiqh, Kitab ini sangat cocok untuk dikaji, terutama bagi yang ingin memahami dengan baik masalah-masalah ubudiyyah. Dengan bahasa dan susunan yang mudah dimengerti, serta permasalahan fiqh yang terkandung di dalamnya yang merupakan hasil seleksi dari berbagai kitab fiqh, akan sangat membantu dalam menemukan hukum yang berkenaan dengan ibadah sehari-hari. Ditambah lagi referensi yang langsung dicantumkan akan mempermudah kita untuk melakukan kajian lebih lanjut, khusus bagi yang terbiasa mengikuti Bahsul Masail akan sangat terbantu dengan hadirnya kitab ini. Selain itu, metodologi penyusunan dalam kitab ini sangat tepat untuk dikaji dan diadopsi untuk membuat takmilah yang membahas problematika fiqh lainnya yang belum disebutkan di kitab ini, Mengingat urgensi ensiklopedia fiqh dalam gerakan pemikiran teori hukum islam yang mutlaq dibutuhkan.

Friday, August 12, 2011

Wabah Sepilis,Selangkah lagi menuju Neo-Atheis



Dewasa ini, kancah pemikiran agama di Indonesia semakin disemarakkan dengan munculnya berbagai aliran dan pemikiran baru yang mengatasnamakan Islam. Seakan tak mau kalah dengan masyarakat akar rumput yang memang minim akan pengetahuan agama, kaum akademispun ikut serta memberikan sumbangsih inovasi pemikiran yang mendobrak pemikiran aksiomatif yang telah berumur ratusan tahun.
Kholif Tu’rof! Nyelenehlah kamu akan terkenal. Mungkin terinspirasi dari adagium arab inilah sekelompok mahasiswa di salah satu perguruan tinggi di bandung “menciptakan” sebuah inovasi baru yang mereka sebut sebagai kawasan anti tuhan. Kawasan dimana hal-hal yang berbau agama dan religius ini disingkirkan bahkan diinjak-injak, hanyalah representasi kecil dari sekian banyak indikasi mewabahnya penyakit sepilis ( sekularisme, pluralisme, liberalisme ) yang semakin meluas di kalangan generasi intelektual muda kaum muslimin. Jika kita analogikan dengan dunia kedokteran, maka penyakit sepilis ini merupakan bentuk implikatif dari virus-virus filosofis yang disebarkan oleh orientalis-orientalis dari kalangan musuh-musuh islam.
Yang lebih riskan, virus-virus tersebut justru ditebarkan secara sporadis di perguruan-perguruan tinggi islam yang memegang peranan cukup krusial dalam mencetak generasi-generasi muda bangsa ini. Kurikulum perguruan tinggi yang telah disusun secara sistematis dan diakui kualitasnya, terbukti gagal dalam melindungi peserta didiknya dari hegemoni pemikiran barat modern maupun pos-modern yang jelas-jelas bertentangan secara diametral dengan metode pemikiran yang telah diakui validitasnya oleh ulama-ulama klasik maupun kontemporer. Melalui kuliah-kuliah yang disampaikan oleh dosen-dosen opsidentalis, proses infiltrasi virus-virus tersebut dilakukan secara halus terhadap peserta didik dengan dalih demokrasi dan kebebasan berpendapat.

Ditambah lagi dengan kultur negatif bangsa kita yang mudah kaget dan terpengaruh dengan budaya baru merupakan jalan tol masuknya virus-virus tersebut dan berhasil merenggut banyak korban dari peserta didik. Virus- virus tersebut adalah skeptisisme, relativisme dan adnotisime yang berakibat pada munculnya wabah sekularisme, pluralisme dan liberalisme. Yang jika hal ini dibiarkan terus tak menutup kemungkinan akan mencapai stadium yang lebih akut berupa neo-atheisme atau komunis model baru.
Dalam filosof kedokteran, sebuah penyakit selalu disertai dengan virus atau penyebab yang mendahuluinya. Untuk membasmi penyakit tersebut harus dilakukan dengan membasmi virus-virus tersebut. Bertolak dari hal ini, untuk dapat membasmi wabah sepilis tersebut harus terlebih dahulu kita mengenal klarifikasi virus-virus tersebut yang merupakan substansi dari wabah tersebut berikut dampak penyakit yang ditimbulkan. Dengan mengetahui kerancuan-kerancuan substansi wabah tersebut, maka ideologi yang dibangun diatasnya akan runtuh dengan sendirinya karena fondasinya yang lemah dan runtuh terlebih dahulu. Jadi seperti efek kartu domino, ketika penyangganya roboh maka yang lain akan ikut roboh semua.
Virus pertama adalah virus relativisme, virus yang diprakarsai oleh para sophist (shufastho’iyyah) ini akan membawa korbannya untuk tidak meyakini kebenaran mutlak, gejala awal orang yang terjangkit penyakit ini adalah sikap anti otoritas. Mereka beranggapan bahwa yang bersifat absolut hanyala tuhan, selain tuhan adalah relatif. Aromanya seperti islami, tapi sejatinya malah menjebak. Mulanya seperti berkaitan dengan masalah ontology, selain tuhan adalah relatif (mumkinul wujud), namun ternyata dibawa pada persoalan epistemology. Al qur’an yang diturunkan dalam bahasa manusia (arab), hadis yang disabdakan nabi, ijtihad dan konsesus ulama dan sebagainya hanyala relatif belaka dan tidak absolut. Sebab semua dihasilkan dalam waktu dan ruang manusia yang menyejarah. Pada tahapan berikutnya, orang tersebut akan menolak otoritas islam sebagai agama yang absolut dan akan berasumsi bahwa semua agama adalah sama dengan tendensi bahwa semua agama menyeru kepada kebaikan. Inilah yang disebut dengan penyakit sekularisme.
Setelah persepsi bahwasanya semua agama sama mulai merasuk dan daya tahan akidah korban mulai melemah karena virus relativisme, berikutnya mulai masuk virus yang dinamakan skeptisisme. Pada tahapan ini korban mulai bersikap skeptis (ragu) terhadap ajaran agama yang dianutnya. Agama dianggap tidak lagi mampu mengakomodir problematika manusia yang semakin kompleks. Mobilitas agama hanya terbatas di ranah ceremony ritual (ibadah), di luar itu agama tidak memiliki otoritas untuk menyentuhnya, termasuk dalam konteks politik dan hukum. Negara teokrasi akan disingkirkan karena dianggap akan menghambat kemajuan dan liberalisasi pemikiran. Seperti yang terjadi di eropa masa renaissance dan di kekhalifahan Turki yang dipelopori oleh Mustofa Kemal Pasha. Hukum Allah akan dianggap kejam karena dianggap paradoks dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia (HAM). Amar ma’ruf hanya dilakukan di masjid saat khutbah jum’at. Sedangkan nahi munkar yang belum mendapat legitimasi hukum dari pemerintah akan dicap sebagai tindak kriminal bahkan kudeta terhadap pemerintah.
Fenomena seperti ini sebenarnya hanyalah reka ulang (replay) dari apa yang pernah menimpa barat post-modern. Pemikiran-pemikiran seperti ini pernah membuat barat babak belur. Agama barat (Kristen) dianggap lawan dari ilmu pengetahuan, sebab realitanya doktrin-doktrin Bible (Kitab Suci Injil, yang merupakan landasan utama agama Kristen, seperti posisi al-Quran dalam Islam) memang berselisih dan berbeda dengan ilmu pengetahuan (sains) sebagaimana terjadi dalam kasus perbedaan persepsi dalam bentuk bumi yang bundar yang mengakibatkan vonis mati atas Gallileo. Akibatnya, gereja tak lagi memiliki pengaruh karena dianggap bukan sebagai otoritas agama. Tokoh agama tidak lagi memiliki wibawa karena dianggap bukan sebagai otoritas (mengenai) Tuhan. Bibel tidak lagi kredibel karena dinilai bukan otoritas kebenaran. Bahkan Tuhanpun tak lagi dianggap maha kuasa, karena otoritasnya dinilai kadaluarsa. Inilah imbas dari sekularisme yang siap mereduksi vokalitas ajaran agama bahkan akidah dalam kehidupan bangsa kita.
Yang lebih riskan, ternyata wabah sekularisme ini tidak hanya menjangkit pelajar dari instansi pendidikan sekuler saja, tetapi juga menyerap sebagian lembaga pendidikan konservatif di negara kita. Sebab jika dilihat dari esensi sekularisme, bukan hanya mereka yang menafikan posisi agama dalam hal keduniaan saja yang disebut sekularisme, tetapi juga mereka yang menafikan peran dunia dalam hal keagamaan. Dampak negatifnyapun tidak kalah berbahaya, seperti munculnya fatwa error yang merupakan implikasi dari kekurangtahuan oknum yang mengeluarkan fatwa. Sedangkan dalam spektrum yang lebih luas adalah minimnya jumlah masyarakat yang memiliki pengetahuan mendalam mengenai masalah agama bahkan dapat dikatakan nihil, sehingga proses sekularisasipun semakin merajalela.
Virus terakhir adalah adnotisisme, virus ini merupakan virus yang paling berbahaya dibanding dengan virus-virus sebelumnya. Jika kita komparasikan dengan imbas dari virus-virus sebelumnya, penyakit yang dibawanya adalah penyakit berstadium akut. Sebab jika korban dari virus-virus sebelumnya “hanya” meragukan otoritas agama dan perannya dalam kehidupan kita, virus ini akan memaksa seseorang untuk bersikap apriori terhadap agama. Bahkan tidak jarang korban mulai berani menjadikan agama sebagai obyek apresiasi rasio dan hawa nafsunya sehingga agama menjadi jajahan dan dikendalikan oleh manusia. Virus inilah yang membidani lahirnya penyakit liberalisme yang saat ini tengah santer di perguruan-perguruan tinggi (Islam) terutama dari kalangan intelektual muda. Sesuai namanya, isme yang satu ini mengajarkan kebebasan di segala sektor termasuk kebebasan dalam pemikiran dan berapresiasi. Ini adalah salah satu tren pemikiran yang berkembang dan menghegemoni Barat saat ini. Di Barat, kebebasan sebagai kebebasan yang seluas-luasanya yang dalam bidang keagamaan bisa diartikan sebagai penentangan terhadap otoritas agama dan metodologi yang telah digariskan bertahan selama ratusan tahun.
Corak pemikiran inilah yang menjadi cara berfikir muslim modernis. Inilah representasi utuh model pemikiran dari barat post modern sebagai lanjutan dari barat modern. Naifnya, pemikiran post modern ini justru melahirkan para mufassir yang anti tafsir, kritikus hadist yang anti hadist, pengkaji fiqih yang anti fiqih dan seterusnya. Tentu saja corak pemikiran ini berbeda dengan apa yang difahami dan diaplikasikan oleh para ulama islam selama ratusan tahun sejak periode sahabat hingga saat ini.
Seperti statemen yang dinyatakan oleh Nasr Hamid Abu Yazid bahwa Al-Qur’an adalah produk budaya (Muntajuts-Tsaqofi) dan sekaligus produsen budaya (Muntijuts-Tsaqofi). Adapun al-Quran yang mutlaq Kalamullah adalah yang berada di lauh mahfudz saja. Ada pula yang berani menginjak Ismul Jalalah dengan berdalih bahwa yang diinjak “hanya” tulisan saja. Ada pula yang mengatakan bahwa akhirat tidak kekal, tidak ada adzab kubur, Nabi Adam dilahirkan dan sebagainya seperti pendapat Agus Musthofa. Tentu saja ini akan memerangkap agama ke dalam petaka kehancuran baik secara konsep maupun penerapan. Karena rasio tiap orang berbeda maka imbasnya islam sebagai konsep dan penerapan akan berbeda sesuai dengan kecenderungan pemikiran masing-masing orang dan apresiasi mereka terhadap rasionalitas. Dalam statemen Nasr Hamid misalnya, akan tercipta pemahaman keislaman versi Nasr Hamid.
Keterbatasan akal manusia dalam menalar kebenaran semakin terlihat melalui perbedaan hasil pemikiran mereka ketika berusaha mencapai kebenaran. Ranah ideologi agama merupakan ajaran sakral yang bermula dari tuhan sebagai otoritas tunggal, bukan mainan yang bisa diotak-atik sesukanya oleh logika dan rasio manusia.
Kesimpulan
Kesimpulan
Virus di atas dengan wabah-yang dibawanya adalah ancaman besar bagi eksistensi keagaman di negara kita. Bukan saja agama islam,tetapi juga agama lain yang masih mengakui adanya tuhan untuk disembah. Jika kita renungkan, sejatinya virus-virus tersebut menuntun kita perlahan-lahan untuk menjadi kaum paganis yang anti tuhan. Dimulai dari tahap meragukan kebenaran agama yang kita anut, sehingga akan berasumsi tidak ada satupun agama yang memiliki kebenaran mutlak.
Fase berikutnya kita akan mulai meragukan absolutitas agama kita,sehingga agama hanya dijadikan sebagai sarana dalam ceremony ritual dan “haram” untuk ikut mengakomodir stabilitas kehidupan manusia. Berikutnya dalam stadium akut, kita mulai berani menjajah dan mengendalikan agama dengan rasio dan hawa nafsu yang tentunya tidak pernah toleransi dengan nilai-nilai agama manapun. Dengan melihat indikasi-indikasi diatas, bukanlah suatu absurdisitas jika klimaks dari semuanya adalah kita terjerat ke dalam ideologi Neo-atheisme.Tentunya Neo-atheisme yang satu ini lebih dari sekedar atheisme yang pernah kita enyahkan dari negara kita dulu, sebab isme yang satu ini ditanamkan secara bertahap dan sistematis dari kurun waktu yang tidak sebentar sehingga memiliki ranting dengan dahan dan akar yang telah mendarah daging dikalangan orang-orang terpelajar dari generasi muda yang tentunya akan menjadi pemimpin yang mengarahkan dan mengatur negara.
Melihat dari betapa riskan bentuk implikatif dari wabah-wabah ini, maka sudah seyogyanyalah bagi kita khususnya kalangan terpelajar untuk membentengi diri serta ideologi yang telah dipegang teguh oleh pendahulu kita, dan semaksimal mungkin berusaha memerangi virus-virus dan wabah-wabah tersebut agar akidah dan ideologi yang telah bertahan ratusan tahun dinegara kita tidak digusur oleh ideologi-ideologi atheis yang baru datang kemaren sore dan jelas paradoks-antagonis dengan kultur bangsa kita yang agamis religuis. Wallahu A’lam.

Thursday, August 11, 2011

Terjemah Talqin Mayyit

Setiap yang bernyawa pasti akan merasakan mati. Barang siapa dilepaskan dari neraka dan ia akan dimasukan ke dalam surga, maka adalah ia orang yang beruntung, dan tidaklah ada kehidupan di dunia melainkan tipu daya. Wahai hamba Allah bin hamba Allah, kamu ingat perjanjian pada waktu kamu keluar dari negeri dunia menuju negeri akhirat. Yaitu perjanjian: Sesunggahnya tidak ada Tuhan selain ALLAH, dan bahwa Nabi Muhammad itu utusan ALLAH, dan sesungguhnya mati itu benar, dan kubur itu benar, dan ni’mat di dalam kubur itu benar, dan siksa dalam kubur itu benar, dan pertanyaan di dalam kubur itu benar, dan pertanyaan Munkar dan Nankir di dalam kubur itu benar, dan bahwasanya dibangkitkan dari alam kubur itu benar, dan bahwasanya perhitungan amal baik dan buruk itu benar, dan sesungguhnya syafa’at (pertolongan) nabi Muhammad SAW itu benar, dan surga itu benar, dan neraka itu benar, dan berjumpa dengan ALLAH Ta’ala bagi orang ahli ma’rifat itu benar, dan ALLAH Ta’ala akan membangkitkan manusia dari alam kubur, sekarang kamu telah berada dilapisan tanah dan berhadapan dengan malaikat maut, maka apabila datang dua orang malaikat yang diwakilkan kepada kamu yaitu Munkar dan Nankir maka kamu jangan takut dan gemetar. Maka sesungguhnya kedua orang malaikat itu mahluk ALLAH sebagaimana kamu mahluk ALLAH. Maka apabila bertanya dua orang malaikat kepada kamu: Siapa Tuhanmu, dan siapa Nabimu, dan apa agamamu, dan dimana kiblatmu, dan apa pedomanmu(Imammu), dan siapa saudaramu, dan siapa bapamu pada agama, dan siapakah seseorang yang diutus kepadamu, jin, dan manusia? Maka hendaklah kamu jawab pertanyaan itu dengan lidah yang pasih dan i’tikad yang benar: ALLAH Ta’ala itu Tuhanku, Muhammad itu Nabiku dan Islam itu agamaku, dan Ka’bah itu kiblatku, dan Al-Qur’an itu pedomanku, dan kaum Muslimin dan Muslimat itu saudaraku, dan Nabi Ibrahim itu bapaku pada agama, dan ia seorang laki-laki yang diutus kepadaku dan kepada mahluk lainnya yaitu Nabi Muhammad SAW dan hendaklah kamu berkata: Aku ridho ALLAH itu Tuhanku dan Islam itu agamaku dan Muhammad itu Nabi dan Rasul, atas yang demikian itu kamu hidup dan mati, atas demikian itu kamu akan dibangkitkan, jika ALLAH menghendaki akan keselamatan maka ALLAH tetapkan dengan perkataan yang benar.