Komunitas Blogger

Komunitas blogger

El Bashiroh

Majalah El Bashiroh

موقف وسطى تجاه الإنترنت

موقف وسطي تجاه الإنترنت

Wednesday, September 16, 2015

Menyikapi Sisi Manusiawi Seorang Ulama

Tak ada yang meragukan kapasitas keilmuan syekh Yusuf al Qardhawi terutama dalam bidang Fiqih. Tokoh yang menjadi ketua dari persatuan ulama muslimin Internasional (al Ittihad al ‘Alami li al ‘ulama al Muslimin) ini dikenal sebagai ulama yang sangat produktif dan terkenal moderat. Ide beliau tentang wacana fiqih minoritas( al Fiqh al Aqalliyat) adalah bukti keluasan ilmu dan sikap moderat beliau. Meskipun pendapatnya banyak dianggap nyeleneh(syadz), banyak para ulama yang terkesima dengan keluasan ilmunya, tentu saja tidak sedikit juga yang mengkritik. Namun selama ini, pro kontra pemikiran beliau masih dipandang sebagai dialektika dalam ranah intelektual biasa sebagaimana perbedaan pendapat para ulama terdahulu.

Namun kondisi yang berbeda terjadi saat revolusi Arab(Arab Spring) meletus. Revolusi berdarah yang banyak melibatkan pengikut ikhwanul muslimin ini mengundang keberpihakan sikap Qardhawi sebagai bapak spiritual organisasi tersebut. Dalam menyikapi revolusi Suriah, beliau bahkan mengeluarkan fatwa yang membolehkan untuk membunuh semua pihak yang terlibat dalam mendukung pemerintah, baik tentara, rakyat sipil, bahkan ulama(http://www.alalam.ir/news/1457809). Diksi terakhir yang disebutkan oleh Qardhawi ditenggarai khusus ditujukan kepada tokoh ulama besar di Suriah, Syekh Ramadhan al Buthi dan mufti Suriah Syekh Ahmad Badruddin Hassoun yang dikenal berada di pihak pemerintah. Sementara dalam menyikapi revolusi Mesir, beliau adalah kritikus yang paling vokal terhadap kudeta militer berikut penggulingan mantan presiden Mesir Muhammad Mursi. Beliau juga dituding terlibat atas pembebasan beberapa tahanan ikhwanul muslimin dan tindakan beberapa tindakan provokatif lainnya. Akibat dari tindakan beliau tersebut, mahkamah Mesir menjadikan beliau sebagai tersangka dan meminta kepada Interpol untuk merilis red notice yang berisi status buronan beliau(http://classic.aawsat.com/details.asp?section=4&issueno=12813&article=755389#.VJiFNV4gF0).

Pemerintah Mesir tentu memiliki alasan dan bukti yang menurut mereka cukup untuk menjadikan syekh Yusuf al Qardhawi sebagai tersangka. Desakan mereka terhadap Interpol juga dapat dimaklumi karena nampak sulit untuk mendesak pemerintah Qatar untung melepaskan beliau. Namun menurut kami, alangkah baiknya apabila mahkamah Mesir memberikan kebijakan khusus terhadap beliau, mengingat statusnya sebagai ulama yang tentu saja tidak bisa disamakan dengan orang biasa.

Dalam hal ini, al Imam Muhammad bin Abdurrahman al Hubaisyi dalam buku beliau yang bertajuk Nasyruthoy al Ta’rif, mengutip sebuah cerita tentang seorang ahli Qiroat di Baghdad yang bernama ibn Syanabudz. Suatu ketika beliau diketahui merubah beberapa huruf dari al Qur’an yang berbeda dengan redaksi mushaf serta ijma’ ulama, lantas beliau membaca dengan tulisan tersebut dan membacakannya kepada orang-orang. Hal ini memicu sikap ingkar masyarakat dan menghadapkan beliau kepada seorang wazir yang bernama ibn Muqlah. Maka sang wazir memenjarakan beliau dan memberikan hukuman yang keras. Ia memerintahkan kepada algojo untuk memberi pukulan terhadap ibn Syanabudz  agar beliau menarik kembali tindakannya dan bertaubat. Hal tersebut terjadi pada tahun 323 Hijriyyah. Ibnu Syanabudz lantas berdoa ketika menderita pukulan tersebut agar sang wazir dipotong tangannya dan lumpuh saraf-sarafnya. Allah ta’ala kemudian mengabulkan doa tersebut. Ibn Muqlah dipecat dari jabatannya setahun kemudian dan mendapat ujian berupa pukulan dan penghinaan yang hebat, serta lumpuh saraf-sarafnya dan dipotong tangan serta lisannya.

Menurut beliau(imam Abdurrahman al Hubaisyi), tindakan ibn Muqlah didasarkan pada mengingkari hal yang wajib untuk diingkari terhadap setiap orang yang berpedang teguh dengan agama, serta bertujuan untuk mengembalikan ibn Syanbudz kepada kebenaran. Sedangkan Ibn Syanbudz telah melakukan tindakan kemungkaran yang masyhur ketika meriwayatkan bacaan yang berbeda dengan pendapat jumhur ulama. Akan tetapi, kekeliruan beliau dalam satu permasalahan tidak lantas menjatuhkan martabat beliau sebagai pembawa al Qur’an dan ahli ilmu. Menegur beliau dengan lembut adalah lebih tepat demi menjaga martabat ilmu yang beliau miliki. (Nasyrutoy al Ta’rif, Abdurrahman al Hubaisyi, hal 93/ Ma’rifah al Qurrah al Kibar,al Dzahabi/, juz 2 hal 546, al Mursyid, Ibnu Abi Syamah)

Cerita di atas memberi kita pelajaran, bahwa betapapun kesalahan seorang ulama, tidak lantas menjatuhkan martabatnya sebagai pengemban ilmu agama. Dalam konteks syekh Yusuf al Qardhawi, sebaiknya pemerintah Mesir tidak menyamakan perlakuan dan hukuman terhadap beliau sebagaimana perlakuan dan hukuman terhadap pelaku kriminal lainnya demi menjaga martabat beliau dan ilmu yang beliau miliki. Selain itu, potensi beliau sebagai tokoh yang berpengaruh di kalangan ikhwanul muslimin sebenarnya bisa dimanfaatkan untuk balik menyadarkan mereka. Meskipun terkenal sebagai ulama dengan ilmu yang luas, beliau tetaplah anggota ikhwanul muslimin. Sebagaimana diketahui, bahwa setiap golongan akan cenderung fanatik dan kehilangan objektivitasnya jika bersinggungan dengan kepentingan golongannya. Bahkan ulama sekaliber beliaupun tidak luput dari sifat manusiawi ini. Selain memberikan keringanan hukum terhadap beliau, mendudukkan beliau di hadapan sidang para ulama terutama mufti-mufti Suriah akan memberikan efek yang positif untuk menyadarkan pihak pemberontak.

Sisi Manusiawi Ulama Dan Sikap Kita

Ketika fitnah kholqi al Qur’an terjadi di Baghdad, imam Abu Ya’qub al Buwathi termasuk diantara ulama yang berpegang teguh dengan madzhab ahlu sunnah dan mengalami cobaan yang berat. Di sela-sela cobaan tersebut, beliau berkata:

برئ الناس من دمى إلا ثلاثة حرملة والمزنى وآخر
“Manusia seluruhnya tidak memiliki tanggung jawab terhadap darahku kecuali tiga orang, Harmalah, Muzanni, dan seorang lagi

Kisah tersebut diriwayatkan oleh imam Ali bin Abdi al Kafi al Subki dari Ja’far al Tirmidzi(Thabaqat al Syafi’iyyah al Kubro, juz 2 hal 164).

Adalah hal yang mengherankan, cobaan yang berujung kepada syahidnya beliau ternyata tak lepas dari campur tangan ulama lainnya. Sejarah seperti ini tidak hanya sekali terjadi dalam sejarah, di zaman sekarangpun, kita temukan kisah cobaan seorang ulama besar yang ikut andil di dalamnya ulama besar lainnya.

Meskipun banyak pihak yang mengaitkan fatwa Syekh Yusuf al Qardhawi dengan syahidnya Syekh Ramadhan al Buthi, namun hal ini jangan sampai memicu kita untuk menurunkan rasa hormat kita terhadap beliau. Tentu saja Kontra dan kritik adalah hal yang biasa dalam perbedaan pendapat, namun hal tersebut harus tetap dibarengi dengan menjaga adab kita terhadap para ulama. Dalam hal ini, al Imam Ali bin Hasan Ibn Asakir berkata :

اعلم يا أخي وفقنا الله وإياك لمرضاته وجعلنا ممن يغشاه ويتقيه حق تقاته أن لحوم العلماء مسمومة وعادة الله في هتك أستار منتقصيهم معلومة وأن من أطلق لسانه في العلماء بالثلب ابتلاه الله تعالى قبل موته بموت القلب

“Ketahuilah wahai saudaraku, mudah-mudahan Allah memberikan taufiq kepada kita terhadap amal yang mengundang ridhanya. Ketahuilah sesungguhnya daging ulama itu beracun. Dan kebiasaan Allah adalah menyingkap aib atau aurat orang yang biasa membongkar aibnya para ulama. Barangsiapa melepaskan ucapannya terhadap para ulama dengan mencelanya, maka Allah akan timpakan sebelum kematiannya dengan matinya hati.(Tabyin kidzbi al Muftari, Hal 29)

Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda :

اتقوا زلة العالم ولا تقطعوه، وانتظروا فيئته

“Hati-hatilah dengan kekhilafan seorang ‘alim dan jangan memutus hubungan dengannya, dan tunggulah 

Alhasil, Apa yang terjadi diantara para ulama jangan sampai menjadikan kita bersikap kurang ajar kepada mereka. Kewajiban kita terhadap khilaf dan kesalahan mereka adalah memakluminya sebagai sisi manusiawi mereka dan menyerahkan urusan tersebut antara mereka dengan Allah ta’ala. Wallahu a’lam (SY)

Thursday, July 16, 2015

Khutbah Idul Fitri 1, Manifestasi Syukur di Hari Fitri dan Pentingnya Silaturrahmi

Saudara kaum muslimin dan muslimat yang berbahagia
Marilah kita senantiasa meningkatkan kualitas taqwa kita kepada Allah ta’ala, taqwa dalam arti menjalankan segala perintahNya, dan menjauhi segala larangannya.
Ramadhan telah lalu meninggalkan kita, bersama dengan malam-malam indahnya yang penuh berkah dengan shalat tarawih bersama, siang-siang yang penuh rahmat karena kaum muslimin serempak menahan hawa nafsunya dengan berpuasa, dilipatgandakan nilai pahala ibadahnya, puasa dalam arti bukan saja menahan nafsu makan dan minum, namun juga nafsu untuk melakukan hal-hal yang dilarang oleh Allah ta’ala, seperti berdusta, menggunjing orang lain, menghasud, dengki, berburuk sangka dan berbagai maksiat lainnya. Di bulan itu pula kita telah berhasil memperbanyak amal saleh, bertadarrus membaca al Qur’an, bershodaqoh, shalat malam, dan lain sebagainya. Mudah-mudahan Allah ta’ala menjadikan kita sebagai golongan orang-orang yang pantas untuk masuk ke dalam surganya melalui pintu ar Rayyan, pintu khusus bagi orang-orang yang berpuasa, serta menerima amal ibadah kita di bulan Ramadhan dan mengampuni dosa-dosa kita.
Di hari raya Idul Fitri ini, sungguh kita benar-benar berada dalam karunia dan rahmat Allah subhanahu wata’ala yang amat besar, karena saat ini, kita dikumpulkan oleh Allah ta’ala di tempat ini dengan tujuan menggapai kemuliaan di hadapan Allah ta’ala, sudah sepantasnyalah, kita selaku kaum muslimin berbahagia dengan datangnya hari ini, karena hari ‘id merupakan hari kemenangan dan kesenangan bagi kaum muslimin, kesenangan kaum muslimin di dunia adalah ketika telah sempurna melaksanakan perintah Allah ta’al, ibadah yang semata-mata dikerjakan karena kesadaran kita sebagai hamba Allah, serta keimanan kita akan janji-janji dan ancamanNya, Allah ta’ala berfirman:
قل بفضل الله وبرحمته فبذلك فليفرحوا هو خير مما يجمعون (يونس 58)
Namun perlu diketahui, bahwasanya ekspresi senang bagi kaum muslim bukanlah dengan melampiaskan hawa nafsu dengan berfoya-for a dan sejensinya, bukan pula dengan berkeliling kota membuat kegaduahan dan mengganggu masyarakat, namun ekspresi senang bagi seorang muslim adalah dengan melaksanakan perintah Allah ta’ala, dengan bertakbir selama malam hari raya, menjamu tamu-tamu yang datang berkunjung, serta berbagai amal ibadah lainnya, kalaupun seorang muslim melakukan refreshing atau mencari hiburan sekedarnya, maka hal tersebut dibarengi dengan niat menghilangkan jenuh agar bisa kembali beribadah dengan giat kepada Allah ta’ala, adapun jika kesenangan tersebut dieskpresikan dengan hal-hal yang dimurkai oleh Allah ta’ala, maka hal tersebut merupakan kufur nikmat terhadap Allah ta’ala.
Allahu akbar 3X
Kaum muslimin yang dirahmati Allah
Sudah kita ketahui bersama bahwasanya setiap rahmat dan anungrah menuntut rasa syukur kita kepada Allah ta’ala berikut tindakannya. Dengan syukur inilah, Allah ta’ala telah menjanjikan kita tambahan nikmat yang telah ia karuniakan kepada kita. Allah ta’ala berfirman:
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ (إبراهيم 7)
Kaum muslimin rahimakumullah
Sebagaimana yang telah dijelaskan oleh para ulama, bahwasanya syukur menurut bahasa adalah memuji, semalam tadi kita telah bersama-sama memuji Allah ta’ala, saling bersahutan dengan takbir menyambut hari yang fitri ini, sedangkan syukur menurut istilah syara’ lebih spesifik lagi, para ulama termasuk diantaranya al Syekh Nawawi Banten dalam kitab beliau nurudz dzolam syarah ‘Aqidatul awwam mendefiniskan syukur sebagai
صرف العبد جميع ما أنعم الله به عليه إلى ما خلق لأجله
Yaitu perbuatan seorang hamba yang memanifestasikan apa yang dikaruniakan oleh Allah ta’ala kepada apa yang seharusnya menjadi tujuan dari diciptakannya nikmat tersebut, jadi syukur menurut istilah syariat tidak cukup hanya dengan mengucapkan hamdalah atau takbir semata di lisan, namun lebih dari itu harus dibuktikan dengan tindakan nyata.
Sebagai syukur kita terhadap diri kita yang telah diciptakan oleh Allah ta’ala, kita berkewajiban mengeluarkan zakat fitrah. Zakat fitrah dikeluarkan sebagai syarat diterimanya  media penyucian diri kita, setelah sebelumnya kita berpuasa sebulan penuh di bulan Ramadhan. Diriwayatkan bahwasanya Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
صوم شهر رمضان معلق بين السماء والأرض ولا يرفع إلا بزكاة الفطر
Bahwasanya puasa bulan Ramadhan masih terkatung antara langit dan bumi, dan tidak akan naik sampai dibayarkan zakat fitrah. Zakat fitrah utamanya diberikan kepada orang fakir miskin, sebagai bentuk kepedulian sosial terhadap mereka, agar dihari yang berbahagia ini mereka dapat merasakan nikmatnya makanan pokok yang biasa kita konsumsi sehari-harinya.
Kaum muslimin rahimakumullah
Diantara nikmat yang patut kita syukuri pula, bahwasanya dalam tradisi kita, hari idul fitri merupakan momen untuk saling berkunjung dan bersilaturrahmi, saling bermaaf-maafan diantara sesama, sebuah pemandangan yang turu menambah nilai eksotis hari idul fitri ini, dalam hal silaturrahmi ini, diriwayatkan bahwasanya Rasulullah salllallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
ثلاث من كن فيه حاسبه الله حسابا يسيرا وأدخله الجنة برحمته قالوا : وما هن يانبي الله بأبي أنت وأمي ؟ قال : تعطي من حرمك وتصل من قطعك وتعفو عمن ظلمك فإذا فعلت ذلك فإنه يدخلك الجنة برحمته.
Artinya: Ada tiga perkara, barang siapa mau mengamalkannya niscaya Allah akan menghisabnya dengan hisab yang ringan dan memasukkannya ke dalam surge dengan rahmatNya. Para sahabat lalu bertanya: “Apakah perkara tiga itu wahai Rasulullah?” beliau lalu bersabda:” (Yaitu) kamu mau memberi kepada orang yang tidak pernah memberimu, dan kamu mau menyambung tali persaudaraan dengan orang yang memutusnya dari kamu, dan kamu mau memberi maaf kepada orang yang telah menganiayamu. Apabila kamu telah berbuat seperti itu, niscaya Allah ta’ala akan memasukkanmu ke surga dengan rahmatNya.
Allahu akbar 3XX walillahilhamd
Kaum muslimin yang berbahagia
Untuk melengkapi apa yang pernah kita lakukan dalam tradisi yang mulia ini, maka perlu dikukuhkan makna bahwa silaturrahmi adalah menghadirkan makna kerinduan dan kasih saying diantara sesama manusia, yang tidak cukup hanya dengan sekedar basa basi dzahir, hanya saling mengunjungi belumlah sampai kepada esensi dari silaturrahmi. Silaturrahmi hendaknya mendekatkan hati seseorang dengan yang lainnya, mendekatkan orang yang saling bermusuhan menjadi saling menyayangi, yang saling dendam menjadi saling merelakan. Pertemuan itu bukan jaminan bersambungnya hati, akan tetapi ternyata silaturrahmi yang sesungguhnya adalah seperti yang pernah disabdakan oleh Rasulullah salllallahu ‘alaihi wasallam :
لا تدخلون الجنة حتى تؤمنوا ولا تؤمنوا حتى تحابوا
Artinya: “Kalian tidak akan masuk surga kecuali kalian beriman, dan kalian tidak akan benar-benar beriman sampai kalian saling mengasihi
Saling mengasihi itulah yang menghantarkan keindahan di hadapan Allah ta’ala, yang sering berziarah ke sana kemari jika tidak menghadirkan makna cinta kasih tersebut adalah pekerjaan sia-sia. Maka harus ditekankan bahwa ziarah yang kita lakukan secara lahir ada buahnya, yaitu bertemunya hati dan saling mengasihi, tandanya adalah mudah memaafkan saudara kita, ikut merasakan sakit yang mereka rasakan, dan merasa senang atas kegembiraan mereka.
Yang perlu diperhatikan lagi, hal yang terpenting dalam silaturrahmi adalah menyambun kembali silaturrahmi yang terputus. Interaksi yang sempat merenggang karena dipicu oleh berbagai hal, silaturrahmi inilah yang dijanjikan dalam agama dengan ganjaran yang amat besar, serta ancaman yang luar biasa jika dilalaikan. Diriwayatkan bahwasanya Rasulullah salllallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ليس الواصل بالمكافئ، ولكن الواصل الذي إذا قطعت رحمه وصلها
Bukanlah menyambung persaudaraan itu membalas kebaikan seseorang, akan tetapi yang dimaksud menyambung silaturrahmmi itu adalah jika hubungannya diputus ia menyambungnya.
Sebaliknya, ancaman dari melalaikan esensi dari silaturrahmi adalah dilaknat oleh Allah ta’ala, sebagaimana Allah ta’ala berfirman:
فَهَلْ عَسَيْتُمْ إِنْ تَوَلَّيْتُمْ أَنْ تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ وَتُقَطِّعُوا أَرْحَامَكُمْ (22) أُولَئِكَ الَّذِينَ لَعَنَهُمُ اللَّهُ فَأَصَمَّهُمْ وَأَعْمَى أَبْصَارَهُمْ (23) (محمد 22)
Artinya:
……………..
Laknat dari Allah ta’ala berarti dijauhkan dari rahmatNya yang amat luas. Hal ini dipertegas oleh Rasulullah

Tuesday, February 3, 2015

Rahmatan lil 'Alamin, Antara Konsep dan Persepsi

(وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ))[الأنبياء:107]
(Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam).” (QS Al Anbiya’ : 107).


Menurut Ibn Mandzur dalam lisanul ‘Arob, Rahmat secara etimologis adalah al Riqqotu wa al Ta’athuf yang berarti kelembutan yang berpadu dengan rasa iba, atau dengan kata lain rahmat dapat diartikan dengan kasih sayang. Secara global, ayat ini menjelaskan bahwasanya nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam adalah bentuk kasih sayang Allah kepada seluruh manusia.
Sebagaimana ayat al Quran lainnya, interpretasi dari frase rahmatan lil ‘alamin tersebut haruslah bersandarkan kepada terminologi syariat sesuai dengan konteks ayat tersebut diturunkan. Dalam prakteknya, interpretasi dari rahmat yang disebutkan dalam ayat tersebut nampaknya masih ambigu di kalangan masyarakat, baik muslim terlebih non muslim.

Rahmatan lil ‘Alamin Dalam Persepsi
Rahmat atau kasih sayang dalam persepsi masyarakat umum adalah kasih sayang tanpa diskriminasi, tanpa memandang agama, suku, ras dan sejenisnya. Namun dalam prakteknya, rahmat atau kasih sayang tersebut acapkali diinterpretasikan melewati batas koridor yang digariskan dalam agama.
Banyaknya kekerasan atas nama agama, sejarah perang antar agama terutama Islam vs Kristen selama berabad-abad dalam perang salib mengantarkan beberapa kaum intelektual dari kedua pihak untuk mulai mencari titik temu dan dialog antar agama agar terjadi kesepakatan damai di kedua belah pihak. Namun sayangnya, terkadang usaha-usaha perdamaian tersebut menabrak batas-batas aturan agama bahkan membuat karakteristik beberapa agama menjadi kabur. Sebut saja faham liberalisme dan sekularisme yang menjamur di kalangan pemuda muslim yang cinta damai, namun kurang memiliki dasar yang kuat dalam akidahnya. Ayat di atas termasuk ayat yang sering dijadikan legitimasi terhadap pandangan-pandangan mereka. Rahmat yang diartikan secara tekstual tanpa terlebih dahulu mengkaji secara mendalam tafsirnya kemudian dijadikan tendensi atas berbagai kritik terhadap hal-hal yang dianggap “ tidak rahmat”. Dengan ayat tersebut, kewajiban jihad dengan mengangkat senjata dipertanyakan, nahi munkar dianggap ekstrim, menyinggung ekslusifitas ajaran agama dianggap menyulut api sara,  bahkan toleransi dikatakan tidak sah jika tidak ikut serta dalam upacara seremonial agama lain.

Konsep rahmatan lil ‘alamin
Mengenai diksi ‘alamin, imam Abdul Jarir al Thobari meriwayatkan kontroversi pendapat ulama dalam memahami hal tersebut dalam tafsir beliau, apakah termasuk kalimat universal (al ‘Am) yang mencakup muslim dan non muslim, ataukah kalimat general dengan maksud spesifik ( al ‘Am urida bihi al khusus). Menurut Sa’id bin Jubair, sebagaimana diriwayatkan dari Sayyidina Abbas bin Abdul Muttholib bahwa diksi tersebut bersifat general. Dalam hal ini, Sayyidina Abbas berkata :

من آمن بالله واليوم الآخر كتب له الرحمة في الدنيا والآخرة , ومن لم يؤمن بالله ورسوله عوفي مما أصاب الأمم من الخسف والقذف
“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, ditetapkan untuknya rahmat di dunia dan akhirat. Namun barang siapa yang tidak beriman kepada Allah dan RasulNya, mereka tidak ditimpa adzab sebagaimana yang menimpa umat terdahulu, seperti ditenggelamkan atau di dihujani batu (sebagai rahmat bagi mereka)”.
Dalam riwayat lain :
تمت الرحمة لمن آمن به في الدنيا والآخرة , ومن لم يؤمن به عوفي مما أصاب الأمم قبل
“Rahmat yang sempurna bagi orang-orang yang beriman kepada Rasulullah di dunia dan di akhirat. Sedangkan bagi orang-orang yang enggan beriman, (bentuk rahmat bagi mereka adalah) dengan tidak ditimpa adzab sebagaimana yang menimpa umat terdahulu”.

Sedangkan menurut ibn Zaid, diksi lil ‘alamin tersebut adalah kalimat general dengan maksud spesifik, lil ‘alamin meskipun menggunakan kalimat yang general, namun cakupannya terbatas pada kaum muslimin saja. Dalam hal ini beliau berkata:
 فهو لهؤلاء فتنة ولهؤلاء رحمة ، وقد جاء الأمر مجملا رحمة للعالمين ، والعالمون هاهنا : من آمن به وصدقه وأطاعه
Maka beliau (Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam) bagi sebagian manusia adalah cobaan, sedangkan bagi sebagian yang lain adalah rahmah. Perkara ini (walaupun) disebutkan secara general dengan redaksi ‘alamin(sekalian alam), (namun) yang dimaksud di sini adalah orang-orang yang beriman kepada beliau(Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam), membenarkan beliau dan menaatinya”.
Kesimpulannya, menurut pendapat versi ke dua, rahmat dalam ayat tersebut ekslusif untuk orang mukmin saja. Sedangkan menurut versi pertama, rahmat yang dimaksud adalah dengan ditiadakannya adzab secara langsung di dunia sebagaimana yang menimpa ummat terdahulu.
Jika dikorelasikan dengan ayat lain, ayat di atas juga memiliki penafsiran lain yang akan mementahkan beberapa interpretasi menurut persepsi masyarakat umum. Rahmat dalam ayat tersebut sebenarnya merupakan salah satu dari beberapa misi diutusnya Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam di muka bumi. Dalam ayat lain disebutkan :
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا كَافَّةً لِلنَّاسِ بَشِيرًا وَنَذِيرًا وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ [سبأ:28]
“Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan (basyiiran wa nadziiran), tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui.” (QS. Saba’ : 28).
Berdasarkan ayat di atas, Misi lain dari diutusnya Rasulullah sallallahu ‘alahi wasallam ke muka bumi adalah sebagai pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan, termasuk segala syariat beliau seperti amar ma’ruf dan nahi munkar, jihad dan sebagainya. Sebagai pengejawantahan dari ayat-ayat ini, seorang Muslim dalam interaksinya dengan orang lain, selain harus menerapkan watak rahmatan lil-’alamin, juga bertanggungjawab menyebarkan misibasyiran wa nadziran lil-’alamin.
Namun begitu, bukan berarti Islam adalah agama perang yang disebarkan dengan darah dan terror sebagaimana yang diisukan oleh kalangan Islamophobia. Tidak pula dengan memicu tindakan sparatis disertai rentetan kalimat takbir dengan menyerang pihak lain seperti yang difahami kalangan yang ekstrim dalam beragama. Konsep toleransi dan tanpa harus mengorbankan akidah masing-masing ummat beragama telah secara konkrit dijelaskan dalam surah al Kafirun yang intinya untuk saling membiarkan dalam menjalankan agama masing-masing tanpa saling mengusik satu sama lainnya. Sedangkan konsep rahmatan lil ‘Alamin tergantung kebijaksanaan kita dalam berdakwah sesuai dengan situasi dan kondisi objek dakwah. Dalam kondisi normal, usaha dakwah diprioritaskan menggunakan jalan hikmah, namun dalam kondisi terpaksa, perangpun adalah “rahmat” sebagai opsi terakhir agar non muslim yang mendapat hidayah tidak terhalangi oleh sikap orang kafir.
Terakhir, adalah hal yang sangat urgen untuk menjelaskan konsep yang benar mengenai interpretasi dari rahmatan lil ‘alamin, agar tidak terjadi interpretasi “ngawur” dengan menabrak rambu-rambu agama dalam penerapannya, juga untuk menepis asumsi kalangan non muslim tentang kontradiksi ajaran rahmatan lil ‘alamin dengan realitas yang diterapkan kaum muslimin. Wallahu a’lam (SY)

(Tulisan ini pernah dimuat di majalah al Bashiroh edisi Muharrahm-Shafar 1436 H rubrik Ngaji Tafsir)

Sunday, January 27, 2013

Resensi Buku al Wajîz fi Ushûl al Tasyri’






Judul                     : al Wajîz fi Ushûl al Tasyri’
Penulis                 : Dr Muhammad Hasan Hitu
Penerbit              : Muassasah al Risalah
Tebal                     : 595 Halaman









Kajian Sistematis Teori Yurisprudensi Islam
                      Pengetahuan yang minim tentang periwayatan hadis, ekstrim dalam menyeleksi riwayat, serta sikap mendahulukan penalaran analogis(qiyâs jalîy) dibanding riwayat merupakan serangkaian fakta yang sering menjadi bahan kritikan ahlu hadis terhadap ahlul ro’yi.  Ahlul hadis mengklaim bahwa hukum yang dicetuskan oleh ahlul ro’yi hanya berdasarkan asumsi dan rasio an sich. Sedangkan kritik kubu ahlul ro’yi terhadap kubu ahlul hadis, umumnya menyangkut kelemahan mereka dalam memahami dalil, penalaran hukum berikut dalam berdialektika. Kubu ahlul hadis yang begitu menguasai riwayat berikut jalur geneologinya secara terperinci, justru bertekuk lutut dan bungkam dihadapan para ahlul ro’yi dalam setiap perhelatan diskusi dan perdebatan. Konsep pencetusan hukum yang berbeda antara kedua kubu tersebut, acapkali memicu friksi yang tajam antara kedua kubu. Saling kritik dan perang pemikiran yang terjadi diantara kedua kalangan, mulai menyulut api perpecahan yang amat menghawatirkan.
                      Itulah fenomena yang terjadi di abad kedua hijriah, sampai datang sosok yang mempersatukan kedua belah kubu, menumpas kelemahan ahlul hadis dalam berargumen, serta sikap ekstrim dan fanatik kubu ahlul ro’yi. Melalui karya monementalnya al risalah, Imam Muhammad bin idris al Syafi’I sukses merumuskan metodologi pencetusan hukum yang sistematis serta mempersatukan kedua kubu yang sebelumnya saling “berperang” dalam pemikiran jurispundensi Islam[1].
                      Meski baru menemukan bentuknya sebagai suatu disiplin ilmu mandiri setelah fiqih berkembang dan marak sebagai trend keilmuan, namun keberadaan Ushûl al fiqh seakan merupakan ruh dari keberlangsungan dan perkembangan fiqih itu sendiri. Hal ini dikarenakan, dalam memahami wahyu ilahi tersebut dibutuhkan seperangakat elemen yang harus dikuasai agar hukum yang dicetuskan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Diskursus terhadap elemen-elemen itulah yang oleh para ulama disebut sebagai ilmu Ushûl al Fiqih.
                      Sebagai disiplin ilmu yang diperuntukkan untuk calon-calon mujtahid, mayoritas buku Ushûl al fiqh dikarang dengan konsep kajian dan penulisan yang amat sulit difahami khususnya oleh pelajar-pelajar di zaman moderen. Padahal perubahan dan pergeseran budaya yang terus terjadi menuntut relevansi dan perubahan yang adaptif dari hukum itu sendiri. Diskursus komprehensif nan simpel tentang ilmu Ushûl al fiqh menjadi sebuah keniscayaan.  Atas dasar itulah, Dr Hasan hito menulis bukunya yang berjudul al Wajîz fî Ushûl al Tasyri’ yang merangkum intisari dari buku-buku Ushûl al fiqh klasik ke dalam buku ini.

Sebelum memulai kajian beliau dalam diskursus Ushûl al fiqh, penulis memulai bukunya dengan pengantar berupa penjelasan singkat tentang terminologi khusus yang digunakan oleh penulis dalam buku ini. Penulis juga menjelaskan secara spesifik referensi yang digunakannya berikut dekripsi dari manuskrip referensi-referensi tersebut. Urgensi dari penjelasan hal-hal ini adalah untuk memudahkan para pengkaji buku ini dalam melakukan kajian lebih lanjut dengan merujuk langsung dan melakukan studi komparatif ke sumber-sumber aslinya.
                      Pada bagian berikutnya penulis menuturkan motif penulisan buku tersebut dan pengalaman empiris beliau selama mengkaji dan mengamati paradigma kajian Ushûl al fiqh di zaman moderen ini. Penulis menguraikan panjang lebar kekurangan hasil pengamatan beliau terhadap para penuntut ilmu agama di zaman sekarang dibanding dengan ulama terdahulu khususnya penguasaan mereka terhadap ilmu Ushûl al fiqh. Karena itulah penulis banyak mempopulerkan dan menta’liq buku-buku Ushûl al fiqh klasik agar mudah difahami oleh para pelajar sekarang.  Pengantar ini diakhiri penulis dengan menjelaskan metodologi yang digunakan oleh penulis tentang metode kajian dan penulisan buku ini secara umum.
                      Pada bab selanjutnya penulis memulai dengan prolog berupa penjabaran singkat sejarah pra-kodifikasi ilmu Ushûl al fiqh oleh imam al Syafi’I termasuk polemik yang terjadi di zaman tersebut. Berikutnya penulis menjelaskan metodologi diskursus dan kodifikasi yang diterapkan oleh pakar Ushûl al fiqh klasik. Dari sini para pembaca dapat memahami dengan jelas perbedaan metodologi yang digunakan penulis dengan pakar Ushûl al fiqh  sebelum penulis.
                      Bab ini diakhiri dengan penjelasan buku-buku yang paling urgen yang dikarang dalam diskursus ilmu ini berikut tokoh-tokohnya yang berjasa dalam improvisasi ilmu ini dari satu era ke era berikutnya. Dalam bab ini penulis melakukan klasifikasi yang cukup unik dan jarang dibahas oleh ulama sebelumnya dengan mengklasifikasi pakar Ushûl al fiqh menjadi dua aliran besar, mutakallimin dengan metode deduksinya, serta fuqoha dengan metode induksinya. Setelah mencantumkan pengantar dan prolog singkat tersebut, barulah penulis masuk ke pembahasan dasar Ushûl al fiqh dan penjabarannya di bab berikutnya.
Jika kita perhatikan isi kajian buku ini, sekilas akan tampak bahwa buku merupakan transformasi-sistematif dari buku Ghôyah al WUshûl karangan Imam Zakariya al Anshori . Metode penulisan seperti ini merupakan metode yang diterapkan oleh Musthofa al Khon dalam menulis bukunya al Fiqh al Manhaji. Jika penulis Fiqh al Manhaji secara eksplisit menegaskan bahwa buku tersebut merupakan transformasi-sistematis dari Mughni al Muhtaj karangan Imam Muhammad bin Ahmad al Khotîb al Syirbini, belum ada penegasan dari penulis bahwa buku ini merupakan sistematisasi dari Ghôyah al WUshûl karangan Imam Zakariya al Anshori, walaupun tampaknya demikian. Entah apakah buku ini sengaja disusun dengan berorientasi pada buku tersebut, atau memang kemiripan ini muncul karena keduanya sama-sama intisari dari buku-buku Ushûl al fiqh klasik. Sebab seperti yang telah ketahui, Ghôyah al WUshûl merupakan elaborasi dari lub al WUshûl, sementara lub al WUshûl merupakan ringkasan dari Jam’u al Jawâmi’ yang merupakan intisari dari seluruh buku Ushûl al fiqh sebelumnya sebagaimana yang ditegaskan sendiri oleh penulisnya, Imam Abdul Wahhab bin Ali bin Abdil Kafi al Subki. Hanya saja, buku al Wajiz ini memiliki cakupan yang lebih sempit yaitu sekitar 46 referensi saja.  Namun baik al Fiqh al Manhaji maupun al Wajiz memiliki satu titik persamaan, dengan mengkaji keduanya akan memudahkan kita untuk memahami buku yang disistematisasikan tersebut.
Meskipun tergolong buku Ushûl al fiqh yang cukup tebal dengan kajiannya yang luas, namun penulis mengaku buku ini dikarang untuk kalangan pemula. Atas dasar inilah metodologi penulisan yang diterapkan diorientasikan untuk pemula. Penulis lebih fokus dalam menyebutkan masalah secara global tanpa membahasa secara radikal tiap-tiap bab yang ada. Penulis juga membatasi kajian pada pendapat mayoritas saja tanpa menyebutkan kontroversi pendapat yang ada, hanya saja penulis menggunakan terminologi tertentu yang mengindikasikan adanya kontroversi yang telah dijelaskan dalam prolog buku ini, berikut referensi berbentuk footnote. Hal ini akan sangat membantu bagi yang tertarik untuk meneliti lebih jauh. Penulis juga tidak menyebutkan keseluruhan  landasan normatif dari tiap pendapat yang diambilnya, penulis hanya menyebutkan dalil-dalil yang dianggap urgen pada tiap masalah. Namun apabila terdapat kontroversi pendapat di situ, penulis akan langsung menyanggah argumen dari pihak yang lemah sebagai indikator adanya perbedaan pendapat, tanpa menyebutkannya secara eksplisit.
Sesuai dengan komitmen awal penulisan, penulis berusaha menyusun buku ini seringkas mungkin dengan fokus ke pemahasan-pembahasan yang dianggap urgen untuk pemula. Berbeda dengan buku Ushûl al fiqh al Islâmi karangan Dr Wahbah al Zuhaili yang di dalamnya sarat dengan pembahasan ilmu kalam dan kontroversi pendapat antar sekte ilmu kalam, penulis tidak mencantumkan hal-hal yang tidak memiliki korelasi yang erat dengan diskursus Ushûl al fiqh seperti ilmu kalam dan semisalnya. Penulis juga meringkas pembahasan dengan tidak mencantumkan referensi dari hal-hal yang sudah aksiomatif dalam Ushûl al fiqh yang banyak tercantum dalam buku Ushûl al fiqh lainnya, gaya penulisan seperti ini memang agak berbeda dengan karya-karya penulis sebelumnya seperti al Hadîs al Mursal, Hujiyyatuhu wa Âtsâruhu fi al Fiqh al Islâmi dan al Imâm Syairôzi, Ârouhu al Ushûliyyah yang sarat dengan footnote berupa referensi dan elaborasi.
Hal lain yang menjadi keunikan buku ini, penulis tidak melakukan tarjîh pendapat-pendapat yang saling kontroversi sebagaimana yang dilakukan oleh Dr Wahbah dalam bukunya. Kalaupun tampak kecondongan beliau terhadap satu pendapat, atau bahkan tampak seperti tarjîh, beliau akan menjabarkan legalitas pendapat-pendapat tersebut dengan legitimasi dari pakar Ushûl al fiqh secara detail.
Seperti yang sebelumnya dijelaskan, buku ini tampak merupakan sistematisasi dari Ghôyah al WUshûl, maka buku ini memiliki salah satu keistimewaan. Yaitu sifatnya yang merepresentasikan secara utuh apa yang ada di Ghôyah, namun dengan format penulisan yang lebih sederhana, serta susunan yang moderen-sistematis sehingga sangat cocok sebagai batu loncatan untuk memahami Ghôyah al WUshûl yang terkenal ruwet tersebut.
Sayangnya, buku yang cukup berharga ini amat sulit ditemukan di pasaran Indonesia. Selain itu, meski buku ini ditulis untuk pemula, namun bagi yang belum memahami konsep dasar Ushûl al fiqh disarankan untuk tidak langsung membaca buku ini. Buku ini sangat cocok dibaca bagi para pelajar yang telah menguasai dasar-dasar Ushûl al fiqh, terutama bagi yang sedang mengkaji Ghôyah al WUshûl akan sangat terbantu dengan adanya buku ini. Wallahu a’lam.




[1] Disadur dari prolog al Wajiz fi ushul al Tasyri’.

Thursday, January 24, 2013

موقف وسطى تجاه الإنترنت


من البداهة بمكان أن العلم و الحضارة جزء لا يتجزأ, و بينهما علاقة قوية من حيث تساوى جريانهما فى نفس الخطط من التقدم و التأخر. و قد عرف لدى الباحثين أن العلوم و المعارف تلد الحضارة و أن الحضارة هى نفس لها فى نموها على ارتقاء دائم. فلا غرو ان يقولوا أن كلا منهما تسوق مقود سير الأخر فيحملها الى ارتقاء او انحطاط. فمن هذا المنطلق, كل فرد أيا كان انتماؤه متطلب ان يكون دوما على وعي بما تلده الحضارة و التمدم ايجابيا كان ام سلبيا.و اما من ناحية الايجابى, فمن امثلتها فيضانات العلوم و المعارف المتناثرة التى تتجلى امام اعيننا فصار الحصول عليها سهلا بعد ان كان صعوبا. و هذه الناحية الايجابية من شأنها ان تكون ناحية سلبية, لماذا اقول ذلك؟
إن فيضانات العلوم و المعارف انتشرت دور العالم حرا من غير وجود التصويف, فمن لم يكن مستعدا بترحيبها سوف يقع فى حيرة من تنوع الأفكار. سيما وجود قاذورات المعارف أعنى بها قاذورات الإعلام الرديئة المنتشرة حول مسائل الإعلام.
أخص البحث فيما كان أشد تأثيرا من وسائل الإعلام. وهو الشبكة العالمية, فهذه الوسيلة هي أشدها تأثيرا كما قال به الباحثون على جيل الراهن. فيها اختلاط بين ناحيتين سلبية و إيجابية. وهي مع ذلك لا يسعنا أن نردها بالكلية كما فعله بعض المتطرفين, و لا نقبلها بالكلية فننزلق فى جحر ظلامها مثل المولعين بالمواقع العاهرة. فموقفنا تجاه هذه, أن نقف وقوفا وسطيا بأن نأخذ ما صفى منه و ندع ما كدر. فمعرفة صفوة هذه الحقيقة ضرورية بديهيا على كل نفس. وذلك بتغدية أذهان جيل الحالى باستعداد نفسي و تعليمهم ما هو خير منها وما هو شر. فيستطيع بعد ذلك ان يراقب نفسه في مواجهة هذه الظاهرة .  بقلم الأخ محمد شروانى

من البداهة بمكان          :
 Sudah jelas kiraranya /Sudah merupakan hal yang aksiomatif
وسطى                                 : Moderat
نمو                                           : Improvisasi
غرو                                         : Heran
انتماء                                      : Afiliasi
التصويف                              : Filter
الشبكة العالمية                        : Internet
المواقع العاهرة                      : Situs-situs Porno
ضرورية                                 : Urgen Sangat
الظاهرة                                   : Fenomena