Komunitas Blogger

Komunitas blogger

El Bashiroh

Majalah El Bashiroh

موقف وسطى تجاه الإنترنت

موقف وسطي تجاه الإنترنت

Monday, April 30, 2012

Resensi Tafsir Rowai’ al bayan fi al tafsir ayat al ahkam

Judul                     : Rowai’ al bayan fi al tafsir ayat al ahkam/
                               روائع البيان في تفسير ايات الأحكام
Penulis                 : Dr Ali al Shobuni
Penerbit              : Daru Ihyait Turats al 'Arobi
Tebal                     : 2 Jilid
Studi Komprehensif terhadapnAyat Yuridis-Praktis

Dalam segala bidang diskursus ilmiah, sudah merupakan hal yang asiomatif bahwasanya tidak semua orang memiliki wewenang ilmiah untuk ikut andil di dalamnya. Tak terkecuali dalam konteks interpretasi al Qur’an. Acapkali al Qur’an yang difahami secara literal meleset jauh dari esensi kandungannya yang berimplikasi pada munculnya pemikiran-pemikiran sempalan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan keabsahannya. Oleh karena itulah, dibutuhkan seperangkat instrumen yang dibutuhkan sebagai tendensi atas penafsiran tersebut, baik aqli maupun naqli berikut standarisasi tentang personel yang memiliki otoritas sebagai mufassir.
Sebagai firman Allah ta’ala, al Qur’an merupakan konstitusi dasar bagi kaum muslimin dalam segala tindak tanduknya. Sejak awal pertama diturunkan sampai sekarang, mutiara kandungan al Qur’an tak pernah habis untuk dibahas. Ribuan jilid buku-buku tafsir sejak zaman klasik sampai sekarang terus bermunculan dengan berbagai metodologi penafsiran yang variatif.
Di antara tafsir yang mengkolaborasikan berbagai metode tersebut adalah Rowai’ al bayan fi al Tafsir ayat al ahkam karangan Syekh Ali al Shobuni, guru besar dari fakultas Syari’ah, universitas Ummul Quro’, Makkah al Mukarromah. Tafsir ini merupakan perpaduan dari karakteristik tafsir klasik dan Modern. Pola tafsir Klasik yang dikenal dengan kekayaan pembahasan serta sisi argumentasinya, sementara pola modern yang sistematis sehingga mudah untuk difahami.
Meskipun menggunakan metodologi analitik(tahlil al lafdzi), penulis tidak melakukan penafsiran secara keseluruhan terhadap teks-teks al Qur’an seperti tafsir-tafsir analitik sebelumnya. Berbeda dengan tafsir Jalalain atau tafsir Ibnu Katsir yang membahas keseluruhan ayat al Qur’an, penulis hanya membatasi kajian pada sekitar 70 pembahasan yang termasuk dalam kategori ayat ahkam atau sekitar 500 ayat saja. Hal ini seirama dengan pendapat al Ghazali, al Razi dan Ibn al Arobi yang berpendapat bahwa secara eksplisit, kadar ayat-ayat yuridis-praktis dalam al Qur’an adalah sekitar 500 ayat.
Sebagaimana yang ditegaskan penulis dalam prolog bukunya, tafsir ini memuat sepuluh pembahasan urgen yang seringkali dibahas oleh ulama lainnya. Pembahasan tersebut meliputi analisis per morfem(al tahlil al lafdzi), ma’na global dari suatu ayat, asal muasal dari turunnya suatu ayat, relevansi dengan ayat sebelum dan setelahnya, sisi-sisi bacaan mutawatir, sisi-sisi I’rob, lataifut tafsir, hukum-hukum syariat, indikasi penting dari ayat, dan hikmah tasyri’yang dikandung dalam ayat yang bersangkutan.
Meskipun tergolong tafsir kontemporer, tafsir ini memiliki bobot ilmiah yang tak kalah dibandingkan dengan tafsir sebelumnya. Hal ini tak lain dikarenakan tafsir ini sebenarnya merupakan rangkuman dari berbagai referensi tafsir klasik yang disusun secara sistematis berikut analisis pribadi penulis yang tentu saja tidak lepas dari semangat objektifitas. Metode penafsiran yang digunakan mirip dengan metodologi tafsir al munir karangan Dr Wahbah al Zuhaili, baik gaya pembahasan maupun bahasanya, hanya saja tafsir ini lebih variatif.
Dalam menginterpretasi suatu ayat, penulis selalu memulai dengan analisis mendalam terhadap sisi morfologi yang berkaitan dengan ayat yang ditafsirkan. Tindakan ini sangat tepat mengingat memahami morfem merupakan kunci dasar dalam memahami bahasa apapun termasuk bahasa arab.
Kajian dilanjutkan dengan menerangkan maksud dari ayat secara global dan ringkas layaknya tafsir tematik pada umumnya. Dalam sub bab ini, penulis menggunakan metode yang mirip dengan tafsir-tafsir tematik klasik seperti tafsir Jalalain dan tafsir Ibn Katsir.
Sebagai instrumen yang wajib diketahui seseorang sebelum menafsirkan suatu ayat, tak lupa penulis menyebutkan asal-muasal yang memicu turunnya suatu ayat, lalu menyambungnya dengan ragam bacaan dan I’robnya. Hal ini merupakan sebuah keistimewaan dari tafsir ini karena akan membantu pembaca untuk bisa memahami kronologi suatu pemikiran tafsir tanpa harus bersusah payah memenuhi sendiri kualifikasinya.
Dalam pembahasan berikutnya, penulis menjabarkan tafsir dari ayat secara rinci dengan menampilkan berbagai pemikiran mufassir terkenal di era klasik. Lalu dilanjutkan dengan istimbat para pakar fiqih berkaitan dengan konteks permasalahan yang sedang dibahas. Tak jarang penulis melakukan tarjih dari beberapa pendapat yang ada secara objektif, serta mudah untuk diterima oleh pembaca yang telah lebih dahulu dibekali pemahaman esensial dari suatu ayat. Untuk sajian terakhir, penulis menutup kajian per bab dengan menyebutkan hikmah tasyri’ dari ayat-ayat yang telah dibahas. Penulis juga banyak melakukan sanggahan terhadap syubuhat yang dilontarkan kalangan di luar islam dengan jawaban yang rasional-argumentatif.
Berbeda dengan kebanyakan tafsir klasik yang menampilkan tafsir dalam bentuk instan, tafsir ini memiliki keistimewaan dengan menampilkan terlebih dahulu perangkat yang perlu diketahui seseorang dalam menafsirkan suatu ayat. Sehingga pembaca akan dapat dengan mudah mengikuti alur pemikiran para pakar tafsir dan hukum di era klasik. Dengan membaca tafsir ini, kita seakan-akan melanglang buana di tengah-tengah belantara pendapat para pakar yang beraneka ragam. Tafsir ini sangat cocok dibaca oleh semua kalangan baik pelajar maupun masyarakat umum. Bagi para pelajar, tafsir ini sangat membantu dalam memahami kronologi dan metodologi para pakar fiqih dalam produk pemikiran hukum yang mereka cetuskan.Wallahu a’lam

Thursday, March 29, 2012

Memahami Secara Proporsional Kedudukan Kholik Dan Makhluk


Banyak orang yang keliru dalam memahami konsep perkara-perkara Polisemis(musytarok) antara kholik dengan makhluk. Atas dasar itulah, mereka mengira bahwa mengafiliasikan salah satu dari hak dan sifat tuhan kepada makhluk adalah sebuah bentuk kesyirikan.

Diantara perkara yang acapkali disalahfahami tersebut adalah khosois nubuwwah. Dengan berlandaskan persepsi bahwa Rasul adalah utusan layaknya manusia biasa, mereka menarik kesimpulan bahwa menyematkan  khosois tersebut kepada mereka sama saja dengan menyematkan sifat-sifat ketuhanan dalam diri seorang makhluk.

Pemahaman ini jelas sangat keliru. Hal ini dikarenakan Allah Swt memiliki hak prerogatif dalam  menganugrahkan apa yang dikehendakiNya tanpa ada batasan apapun. Sebab, anugrah tersebut tak lain merupakan kelebihan yang diberikanNya untuk mengangkat martabat makhluk yang dicintaiNya. Hal ini bukan berarti penyamaan personifikasi karakter ketuhanan dengan karakter manusiawi, sebab terdapat perbedaan yang amat substantif antara keduanya.

Apabila ada makhluk yang diberi anugrah dari salah satu hak dan sifat Allah tersebut, maka hal tersebut tentunya adalah hak dan sifat yang sesuai dengan statusnya sebagai manusia yang terbatas oleh takdir dan ketentuan Allah, bukan mutlak milik makhluk tersebut. Karena pada dasarnya manusia adalah makhluk yang lemah yang tidak bahkan tidak memiliki kekuasaan apapun bahkan atas dirinya sendiri,

Hal ini bisa dilihat dari banyaknya perkara yang awalnya “hanya” ditetapkan sebagai hak milik Allah Swt saja, akan tetapi Allah menganugerahkannya kepada Nabinya Saw. Meskipun begitu, hal tersebut tidak serta merta mengangkat beliau kepada derajat ketuhanan, atau menjadikannya sebagai sekutu bagi Allah ta'ala. Berikut ini akan kami sebutkan contoh kecil dari hak serta sifat Allah Swt yang juga dianugrahkanNya kepada Hamba-hambaNya.

Syafa'at
Pada dasarnya, syafaat adalah hak prerogatif Allah ta'ala. Allah ta'ala berfirman
قل لله الشفاعة ( الزمر : 44)
Katakanlah : “ Hanya kepunyaan Allah syafaat itu semuanya”

Akan tetapi, Allah ta'ala juga memberi Rasulullah Saw dan para kekasihnya “jatah” dari syafa'ah tersebut. Tentunya, konsep syafa'ah yang diberikan oleh Allah ta'ala berbeda dengan apa yang dimilikiNya. Hal ini sebagaimana yang ditegaskan oleh Rasulullah Saw dalam sabdanya:
أنا أول شافع و مشفع
Aku adalah orang pertama yang memberi syafa'at dan diberi izin memberi syafa'at
Dalam riwayat lain juga dikatakan
يشفع يوما القيامة الأمبياء ثم العلماء ثم الشهداء
Ada tiga orang yang bisa memberi syafa'at di hari kiamat, para Nabi, ulama, dan syuhada
Mengetahui Perkara Ghaib
Perkara ghaib adalah hal rahasia yang hanya diketahui oleh Allah ta'ala. Namun, terkadang Allah ta'ala memberikan izin kepada sebagian hambanya untuk mengetahui rahasianya ini. Hal ini sebagaimana yang tersirat dalam firmanNya :
علم الغيب فلا يظهر على غيبه أحدا*إﻻ من ارتضى من ريول (الجن : 26,27)
(Dia adalah tuhan) yang mengetahui yang ghaib, maka dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang ghaib itu. Kecuali kepada Rasul yang diridhaiNya
Hidayah
Selain perkara yang telah disebutkan, masih ada lagi hak Allah ta'ala yang dikaruniakan kepada sebagian Hambanya, diantaranya adalah masalah hidayah. Pada dasarnya, hidayah ini adalah milik Allah ta'ala semata. Allah ta'ala berfirman
إنك ﻻ تهدي من احببت و لكن الله يهدي من يشاء (القصص : 56)
ٍSesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendakiNya
Akan tetapi, sifat memberi hidayah tersebut juga disematkan kepada Rasulullah Saw dalam firmanNya :
و إنك لتهدي إلى صراط مستقيم (الشرى : 52)
Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus

Tentu saja kedua hidayah tersebut memiliki konsep yang berbeda. Hal tersebut dapat difahami oleh orang-orang yang berakal yang memahami betul batas antar kholik dan makhluk. Jika tidak, tentu Allah ta'ala akan menambahkan spesifikasi tertentu untuk sifat dan hakNya yang diberikan kepada makhlukNya. Akan tetapi hal tersebut tidak terjadi, bahkan Allah ta'ala menetapkan hidayah tanpa spesifikasi serta limitasi apapun . Hal itu dikarenakan kita semua dapat dengan mudah memahami perbedaan hal-hal tersebut dengan melihat afiliasinya. Apakah hal tersebut disandarkan kepada Allah ta'ala, atau kepada hambaNya.

Penalaran analogis dari apa yang telah kami paparkan, adalah implementasi etos ketuhanan dalam pribadi seorang makhluk. Hal ini seperti yang tercantum dalam Al qur'an tentang penyematan sifat  ri'fah dan rahmah kepada Rasulullah Saw dalam Firmannya :
بالمؤمنين رءوف رحيم ( التوبة : 128)
 Padahal dalam ayat lain, Allah ta'ala juga menyifati diriNya dengan sifat tersebut berkali-kali dalam Al qur'an. Diantaranya apa yang tercantum dalam surat at taubah :
رءوف رحيم( التوبة 117)
Meskipun begitu, kita tentu faham bahwasanya rouf dan rahmah Rasulullah Saw berbeda dengan rouf dan rohmahnya Allah Swt, meskipun dalam firman-firmanNya tersebut Allah ta'ala tidak “memperjelas“ sifat nabiNya tersebut dengan spesifikasi tertentu. Hal ini tak lain karena objek dari firman (Jawa: dawuh)  tersebut seharusnya dapat memahami batasan serta perbedaan antara hak dan sifat antara kholiq dan makhluk. Jika tidak, tentu Allah ta'ala akan menyifati RasulNya dengan tambahan spesifikasi seperti ra'fah ghoiru ra'fatina, dan rohim ghoiru rohmatina. Atau mengatakan rouf dan rohim tertentu, atau mengatakan roufnya manusia dan rahmahnya manusia. Akan tetapi hal tersebut tidak terjadi, bahkan Allah ta'ala menetapkan sifat ri'fah dan rahmah tersebut tanpa ada ikatan limitasi apapun. Dengan sangat gamblang, Allah ta'ala berfirman :
 بالمؤمنين رؤوف رحيم ( التوبة : 128)

Disarikan dari Mafahim yajib an tushohhah karangan Prof Dr Sayyid Muhammad bin 'alawi al Maliki Bab أمور مشترك بين الخالق و المخلوق

العربية بدار اللغة و الدعوة


بقلم الأخ : سيبويه سيف الله البنجاري


        العربية هي  جزء لا يتجزأ من المعهد المسمي دار اللغة و الدعوة, و الارتباط بينهما كارتباط الورد و رائحته الشدية.فكما أن الورد إذا فقدت منه رائحته لا يشتهى كذلك هذا المعهد إذا زالت منه العربية.قلت ذلك لأن المعهد الذى أسسها المكرم الحبيب حسن بن أحمد باهارون هذا كان و لا يزال مشهورا بمهارة طلابه و طلاقتهم فى التخاطب بهذه اللغة الشريفة. و ذلك يكون ضربة جالبة للآباء فى كل ناحية من أنحاء البلاد الإندونسي لأن يسجلوا أولادهم فى هذا المعهد. و هذه اللغة تنمو و تتطور  هائلة فيه حيث أمكن لمن سكن فيه أن يعبر ما خطر بباله, و كذا الخطابة و المحاضرة و تقديم القصة بها. و لا يتجرح طالب منه بمدة قصيرة إلا و لسانه سلسلة فى النطق بهذه اللغة,
        فبينما اشتهر هذا المعهد بتطوراته فى اللغة العربية سياما بعدما جاز بعض طلابه من الفوز و النجاحة فى عدة المسابقات العربية. قدم السؤال إلينا - أعنى كل من له دور فى هذا المعهد – هل هذه الشهرة المنتشرة مناسبة بالواقع أم بالعكس بأن تخالف ما وقع ؟. و المشاهدة الواقعة التى شاهدتها دائرة هي أن العربية تنحط كثير الانحطاط بأن قل من يتكلم بها و يعتنى. و سبب ذلك دخول كثير من الأولاد الجدد الذين من شأنهم تقبلون السماحة على محادثتهم بأي لغة سوى اللغة العربية بإضافة إلى عدم المساعدة من قدماءهم و عدم التعاون بينهم للإرتقاء و التطور و التقدم. و هذه الظاهرة قد خيبت ظنون المجتمع بتطور العربية و مهارة و طلاقة طلاب هذا المعهد.أيضا قد يحتاجت شديد الاحتياج إلى تغييرها إلى ما هو أحسن مما كان. كي تتقدم سويا فى المستقبل و لا يتأخر منا أحد.
        و لا شك  لتحقيق هذا التعبير أو بالأصح الإصلاح لهذا التأخر تحتاج المام خاص من قبل الطلاب بهذه اللغة بأن يكثروا من التطبيق و الممارثة بإضافة إلى دور عظيم من الأساتذة فى تعليم طلاب.و أيضا لتحقيق هذا لا بد من أن تغير معتقدات الطلاب بأن العربية صعبة و هذا أيضا يكون سبب لتأخرهم.
        و الحاصل أن ترقية اللغة العربية فى هذا المعهد و بقاءها فيه محتاج إلى الاهتمام العظيم و الاعتناء الجسيم, ليس فقط من طلابه بل لكل من له دور فى هذا المعهد, و إلا فسوف تنحط و تنحط هذا اللغة بتناوب الزمان إن لم يكن أقول أنها ستزول. و الله الموفق و المحقق مراد من جاهد في سبيله كما قال الله تعالى ( و الذين جاهدوا فينا لنهدينهم سبلنا ) الأية 

Friday, February 24, 2012

Resensi Buku at Tandid biman 'addada at Tauhid (التنديد بمن عدد التوحيد)

Judul                     : at Tandid biman 'addada at Tauhid
Penulis                 : As Sayyid Hasan bin 'Ali as seggaf
Penerbit              : Darul Imam An Nawawi
Tebal                     : 64 Halaman

Menguak Absurdisitas Pemikiran Ibnu Taimiyyah
                Dalam kancah pemikiran intelektual umat islam, nama Ahmad ibnu taimiyyah al harroni tentu bukanlah nama yang asing. Sebab, ide-ide besar sosok yang kontroversional ini mendapat "apresiasi" luar biasa umat islam di masanya maupun kurun setelahnya. Bahkan, hingga saat ini pemikiran-pemikiran beliau masih terus dikaji dan banyak mempengaruhi (baca : mengontaminasi) pemikir-pemikir muslim setelahnya.
                Diantara Pemikiran al harroni tentang teologi yang paling fenomenal adalah konsep klasifikasi tauhid yang diusungnya. Beliau mempunyai pemikiran baru (baca : bid’ah) dalam kancah teologis, bahwa tauhid yang merupakan hal paling fundamentalis dalam diskursus teologis diklasifikasi menjadi tiga bagian,  yakni Tauhid Rububiyyah, Tauhid Uluhiyah dan Tauhid al-Asma’ wal al-Shifat. Dengan konsep ini, seorang yang telah mengakui keesaan Allah ta'ala belum dapat dikategorikan sebagai orang muslim karena ia hanya mengakui tauhid rububiyyah. Seseorang dapat dikatakan muslim jika ia telah mengakui tauhid uluhiyyah dengan tidak menyekutukan Allah ta'ala dalam hal peribadatan.
                Paradigma klasifikasi tauhid ini, oleh para pengikutnya dikatakan sebagai hasil riset beliau ( istiqro ) terhadap nash-nash syariat untuk memudahkan kaum muslimin dalam memahami tauhid. Di sisi lain, pemikiran beliau ini mendapat reaksi keras dari ulama lain karena penuh dengan absurdisitas. Lebih dari itu, ulama yang kontra dengan pemikiran beliau bahkan mengklaim bahwa konsep klasifikasi tauhid tersebut bukan hanya tidak memiliki landasan ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan, tetapi juga merupakan alat untuk menjustifikasi penkafiran beliau terhadap orang-orang yang tidak sefaham dengannya.
                Para pakar teologi telah banyak menelurkan karya-karya besar untuk menyingkap kerancuan klasifikasi tauhid tersebut. Kajian mereka tersebar dalam banyak literatur yang berlainan. Diantara buku yang secara khusus mengungkap absurdisitas klasifikasi tauhid  ini adalah buku at tandid biman 'adddada at tauhid karangan as sayyid Hasan bin 'Ali as segaf asal Yordania.
                Buku ini dimulai dengan prolog berupa penjelasan secara singkat sisi historis serta substansi konsep klasifikasi tauhid tersebut berikut landasan normatifnya. Disamping itu penulis juga mengutip komentar para ulama terhadap pencetus konsep ini dan orang yang berjasa besar dalam menyebarkannya. Tentu uraian pembuka ini akan memberikan pemahaman awal kepada pembaca yang belum begitu mengenal konsep ini akan permasalahan yang akan diuraikan lebih detail pada bagian berikutnya.
                Kajian dilanjutkan dengan mengungkap kerancuan substansial dari klasifikasi tauhid ini dari berbagai persfektif keilmuan. Dalam pembahasan utama buku ini, penulis mengungkapkan kerancuan klasifikasi tersebut melalui pendekatan linguistik, historis, metodologis, serta pijakan ilmiah yang digunakan. Seluruh sisi argumentatif konsep inipun tak luput dari kritik penulis. Di sini penulis terlihat dengan lihai mengungkapkan absurdisitas dari interpretasi al harroni berkenaan dengan argumen yang digunakannya dalam menjustifikasi pemikirannya tersebut berikut menjelaskan interpretasi yang seharusnya dengan referensi yang jelas. Penulis bahkan mengutip konsesus para pakar teologi yang menutup celah bagi kemungkinan kebenaran konsep ini.
                Pada bagian berikutnya penulis menguraikan kerancuan ideologi-ideologi yang berdiri diatas konsep klasifikasi tauhid terebut. Seperti ideologi takfir terhadap orang-orang  yang bertawassul, istighotsah dan lain sebagainya, serta akidah tajsim dan tasybih yang merupakan implikasi dari konsep tauhid asma was sifat. Hal menarik lain adalah, penulis juga menyertakan ideologi yang dianut ahlus sunnah wal jama'ah sebagai komparasi berikut pijakan masing-masing, meski tentunya tak bisa lepas dari subjektifitas penulis.
                Terakhir, tidak cukup dengan melakukan kritik sarkastis terhadap konsep tauhid ini, secara implisit penulis juga meberikan vonis takfir terhadap penganut konsep tersebut dengan mengutip pendapat pakar-pakar teologi terhadap bentuk implikatif konsep tersebut. Tauhid asma was sifat terlihat mendapat sorotan khusus. Hal ini tak lain karena klasifikasi tauhid yang terakhir ini memiliki dampak yang paling berbahaya dibanding dua klasifikasi lainnya. Tauhid asma was sifat inilah yang mengiring ibnu taymiyyah serta pengikut-pengikutnya dalam ideologi tasybih yang mendapat kecaman dari semua ulama di eranya, bahkan menyebabkan beliau mendekam di penjara.
                Setelah menguraikan panjang lebar tentang konsep klasifikasi tauhid tersebut berikut absurdisitas yang terkandung di dalamnya, penulis memberikan suplemen bab yang berisi beberapa sampel dari kesesatan yang terkandung dalam komentar buku aqidah thohawiyyah yang ditulis oleh ibnu abil 'iz. Perlu diketahui bahwa beliau adalah salah seorang penerus ibnu taimiyyah yang memiliki andil besar dalam mempertahankan eksistensi pemikiran ibnh taimiyyah serta karyanya menjadi rujukan utama pengikut ibnu taimiyyah dalah hal ideologi. Suplemen bab ini mengindikasikan bahwa buku ini sebenarnya ditulis sebagai counter terhadapa syarah aqidah thohawiyyah tersebut. Hal ini sebagaimana yang diisyaratkan penulis dalam banyak bagian di buku ini.
                Al hasil, isi buku ini mengetengahkan argumen-argumen yang menyingkap absurdisitas pemikiran ibnu taimiyyah tersebut, disamping juga mematahkan tuduhan-tuduhan miring yang sering dilontarkan terhadap pengikut ahlus sunnah wal jama'ah sebagai imbas dari klasifikasi tauhid tersebut. Materi kajian yang begitu komprehensif dan metodologis menjadikannya sebagai buku yang wajib dibaca bagi orang-orang yang bertanggung jawab melindungi ummat dari pemikiran sesat yang terlanjur menyebar ini.

               


Rasionalitas Intelejensi Yahudi, Tradisi Islam yang Ditinggalkan

Bila kita renungkan, golongan manakah yang banyak menghasilkan penemuan spektakuler dalam bidang teknologi, kedokteran politik, ekonomi, sosial dan bidang keilmuan lainnya ? Tentu yang muncul di benak kita adalah bangsa yahudi. Tanpa bermaksud menaifkan salah satu agama, memang bangsa yahudilah yang dikenal sebagai produsen berbagai penemuan yang spektakuler. Produk seperti internet, google, yahoo, nokia, blackberry, facebook, senjata nuklir dan berbagai penemuan revolisioner lainnya, semuanya merupakan produk yahudi yang sangat bermanfaat dalam kemajuan peradaban dan teknologi seluruh bangsa di dunia. Bangsa yahudi sejak dahulu dikenal sebagai bangsa cerdas yang sangat produktif dalam berbagai penemuan yang bermanfaat bagi manusia.
Pernahkah anda mendengar nama albert Einstein? Kecerdasan tokoh fisika yang dikenal dunia ini telah mempengaruhi miliaran manusia di muka bumi sebagai tokoh pertama yang menemukan teori relativitas yang banyak menyumbang bagi pengembangan mekanika kuantum, mekanika statistik, dan kosmologi. Lalu siapakah Einstein? Jawabannya adalah orang yahudi. Dalam dunia modern kita mengenal Mark Zuckerberg. Penemu dan pendiri situs social networking facebook yang telah merubah gaya hidup mayoritas penduduk dunia, berhasil membuatnya sebagai manusia terkaya dalam usia yang relatif muda. Sebelumnya tokoh yang memilih drop out dari Harvard university ini berhasil menembus sistem keamanan jaringan Harvard yang dikenal sebagai sarangnya hacker-hacker jenius dunia dan membuat kegaduhan diantara mahasiswa Harvard sedangkan dia dalam keadaan mabuk.
Selain dari realita yang disebutkan diatas, kecerdasan orang yahudi juga mendapat justifikasi dari berbagai kitab suci agama di dunia ini tak terkecuali Al Quran. Dalam Al Qur’an dijelaskan bahwa Allah ta’ala telah menjadikan bangsa mereka memiliki kelebihan diatas rata-rata manusia.
يَا بَنِي إِسْرَائِيلَ اذْكُرُوا نِعْمَتِيَ الَّتِي أَنْعَمْتُ عَلَيْكُمْ وَأَنِّي فَضَّلْتُكُمْ عَلَى الْعَالَمِينَ ( البقرة 47)


“Hai bangsa bani israel, ingatlah akan ni’mat-Ku yang telah Aku anugerahkan kepadamu dan bahwasanya Aku telah melebihkan kamu atas segala umat"
[Al Baqarah ayat 47]

Sayangnya, kecerdasan orang yahudi yang diatas rata-rata tersebut seringkali salah disikapi oleh bangsa-bangsa lainnya di dunia. Bagi penganut faham zionisme, yahudi dianggap sebagai bangsa pilihan tuhan yang diberi kelebihan khusus yang tidak diberikan kepada bangsa selain yahudi. Oleh karenanya kecerdasan yang mereka miliki tersebut tidak bisa ditiru. Sementara dalam literatur islam, kelebihan-kelebihan yahudi tersebut dianggap sebatas istidroj tanpa ada unsur rasionalitas di dalamnya. Kelebihan tersebut diberikan kepada mereka hanya sebatas untuk membuat azab yang mereka terima di hari pembalasan lebih menyakitkan.
Padahal jika kita telusuri lebih jauh adat-istiadat bangsa yahudi, dapat kita tarik kesimpulan bahwa kecerdasan bangsa yahudi bukanlah sebuah mitos atau semata-mata takdir tuhan. Kecerdasan yang mereka miliki tidak semena-mena muncul tanpa ada sebab ilmiah. Sebab, pada dasarnya setiap bangsa dan manusia manapun di dunia ini memiliki potensi yang sama yang diberikan oleh Allah ta’ala dalam semua sektor tak terkecuali sisi kecerdasannya. Usaha manusialah yang bisa membedakan nasib, kecerdasan, dan kemampuan antara satu dengan yang lainnya.
Menurut penelitian Dr Stephen Carr Leon, seorang yang menjalani housemanship selama tiga tahun di beberapa rumah sakit di Israel, kecerdasan yang dimiliki oleh bangsa yahudi telah dibentuk secara turun-temurun bahkan sejak masa sebelum mengandung. Bangsa yahudi sejak dahulu kala telah memiliki tradisi yang memprioritaskan improvisasi kecerdasan keturunan mereka. Doktrin fasisme yang telah ditanamkan dalam diri tiap generasi mengharuskan mereka untuk tidak mengambil keturunan selain dari sesama yahudi yang memiliki kecerdasan seperti mereka.
Disamping menjaga genetika mereka, bangsa yahudi juga memiliki tradisi pembinaan otak sejak masa pra-kelahiran. Sejak masa kandungan, para orangtua yahudi telah terbiasa memberikan pendidikan terhadap janin mereka dengan aktivitas rutin berupa kebiasaan mendengarkan serta bermain musik dan mengerjakan soal-soal matematika yang terus berlanjut sampai masa pasca-kelahiran bahkan sampai sang anak tumbuh dewasa. Disamping itu, mereka juga sangat menjaga makanan yang masuk ke tubuh mereka. Menu makanan mereka merupakan menu pilihan yang telah terbukti dapat memacu kecerdasan mereka serta keturunan mereka.
Bangsa yahudi juga sangat menjaga diri serta keluarga mereka dari barang-barang yang berpotensi dapat merusak kecerdasan mereka. Barang-barang seperti minuman keras, nikotin, maupun rokok merupakan hal yang tabu bagi mereka. Orang yahudi tidak akan segan-segan untuk mengusir siapapun yang nekat merokok di sekitar rumah mereka. Bangsa yahudi juga memiliki solidaritas yang tinggi terhadap saudara mereka. Pantang bagi seorang yahudi untuk merokok di tempat umum. Bahkan apabila seorang yahudi perokok melihat ada seorang wanita hamil di jalan raya, ia akan segera menghentikan aktivitasnya tersebut meskipun ia tak mengenalnya. Satu fenomena yang sangan mengesankan dikalangan yahudi, seorang pecandu rokok akan segera berhenti total ketika mengetahui istrinya mengandung, hal it uterus berlanjut sampai sang anak berusia 7 tahun. Itupun biasanya mereka merasa malas untuk menghisap rokok lagi.
Dalam dunia akademis, Bangsa yahudi memiliki kurikilum pendidikan serta konsep belajar yang sistematis serta selalu dikembangkan sesuai dengan perkembangan zaman. Pelajar yahudi tidak hanya dituntut untuk menguasai ilmu pengetahuan secara teoritis, mereka bahkan dituntut untuk  memiliki penemuan baru sejak mereka masih duduk dalam bangku sekolah dasar. Prinsip selalu bertanya dan kritis dalam belajar, serta tidak pernah menganggap mutlak teori yang ada, memotivasi mereka untuk selalu melakukan penelitian dan penemuan terbaru yang jauh lebih sempurna. Segala tradisi dan aktivitas yang dilakukan oleh bangsa yahudi diprioritaskan untuk menghasilkan generasi yang benar-benar cerdas dan aktif serta produktif. Orang yahudi akan sangat malu jika memiliki keturunan yang bodoh atau memiliki kecerdasan rata-rata standar bangsa non-yahudi.
Tradisi Islam Yang Ditinggalkan
Dari paparan diatas, dapat kita ambil kesimpulan bahwa kecerdasan yang dimiliki oleh orang-orang yahudi bukan semata-mata takdir dan karunia tuhan. Lebih dari itu, kecerdasan yang mereka miliki adalah hal yang rasional dan melalui proses yang dapat dijelaskan secara ilmiah. Bahkan bangsa manapun selain yahudi memiliki potensi yang sama untuk memiliki kecerdasan seperti yang mereka miliki. Namun yang mungkin tak terpikirkan oleh kita, ternyata rahasia kecerdasan orang yahudi tersebut telah diajarkan oleh agama kita bahkan sempat dipraktekkan oleh kaum muslimin selama beberapa abad!!!
Sejak masa Rasulullah Sallalahu ‘alaihi wa sallam, kaum muslimin sudah terbiasa hidup dengan teratur bahkan melebihi kaum yahudi. Sejak kurun awal generasi islam, tradisi menjaga keturunan serta makanan yang dikonsumsi merupakan prioritas kaum muslimin. Hanya saja, berbeda dengan tradisi yahudi yang bersifat rasional dan berdasarkan pada pengalaman empiris, tradisi kaum muslimin tersebut lebih bersifat metafisik dan didasarkan pada pengejawentahan ajaran islam. Konsep kafa’ah misalnya, merupakan ajaran islam yang mengandung hikmah dalam urgensi menjaga keturunan, Konsep waro’ dalam mencari rizki merupakan langkah islam dalam menuntun ummatnya untuk berhati-hati dalam makanan yang masuk ke tubuh mereka.
Sebagai agama yang ajarannya bersumber langsung dari Allah ta’ala sang pencipta semesta, tak ada satupun barang yang berbahaya bagi manusia yang tidak diharomkan dalam agama islam. Jika kita renungkan, dari sekian banyak konsumsi yang diharomkan, Khomer  ternyata mendapat perhatian lebih. Berbeda dengan babi dan makanan berbahaya lainnya, khomer memiliki keistimewaan dengan hukumannya ditentukan langsung oleh syariat (had). Hal ini tak lain karena pengaruh khomer yang berdampak langsung pada kerusakan akal dan kecerdasan manusia. Secara implisit dapat kita simpulkan, bahwa agama islam mengajarkan ummatnya untuk memberikan perhatian lebih dalam menjaga akal dan kecerdasannya.
Ummat islam juga memiliki tradisi mendidik anak mereka bahkan sebelum mereka berada di kandungan. Dalam ajaran islam, seorang ayah memiliki kewajiban untuk mencarikan ibu yang baik bagi calon anaknya begitu juga sebaliknya. Dalam masa kehamilan, Jika bangsa yahudi merangsang kecerdasan janinnya dengan mendengarkan dan bermain musik, orangtua muslim memembacakan untuk jabang bayi mereka ayat-ayat suci Al Qur’an yang jauh lebih berpengaruh terhadap kecerdasan janin.
Konsep pendidikan islam bahkan lebih unggul dari pendidikan yahudi, jika bangsa yahudi hanya metitikbertkan pendidikan pada kecerdasan intelektual atau intellectual quotient (IQ), sistem pendidikan islam memberikan perhatian lebih terhadap kecerdasan emosional atau emotional quotient(EQ) dan kecerdasan spiritual atau spiritual quotient (SQ). Implikasinya, generasi kaum muslimin memiliki variasi kecerdasan yang lebih unggul dari generasi yahudi. Pelajar muslim tidak hanya memiliki tingkat intelektualitas yang tinggi, tetapi juga memiliki akhlak dan kepribadian yang sholeh. Imam syafi’I merupakan satu dari ribuan intelektual muslim yang tidak hanya memiliki kecerdasan intelektual yang mengagumkan, disamping beliau sanggup menghafal langsung hal apapun yang pernah dilihat dan didengarnya, beliau juga dikenal sebagai sosok yang soleh dan dermawan.
Yang sangat disayangkan, tradisi baik yang bersumber langsung dari ajaran islam ini telah lama ditinggalkan oleh kaum muslimin. Seiring dengan berjalannya waktu, minat dan semangat kaum muslimin dalam mendalami dan menjalankan sunnah semakin memprihatinkan. Tradisi yang dulunya sempat melahirkan generasi mujtahidin dan ilmuan dengan tingkat kejeniusan dan pengetahuan intelektual yang luarbiasa ini, kini hanya tinggal torehan-torehan emas dalam buku-buku sejarah. Gelar mujtahid yang dulunya berhasil dicapai oleh banyak intelektual muslim, menjadi sebuah strata yang absurd untuk dicapai generasi muslim sejak abad ke 4 hijriah.
Bertolak dari pembahasan singkat ini, ummat islam harus pandai-pandai membawa diri agar bersikap moderat (tawassuth). Diawali dengan membuka kesadaran bahwa kecerdasan dan hegemoni bangsa yahudi adalah sebuah realita, dan hal tersebut harus diterima sebagai tantangan yang harus dihadapi. Bukan justru melakukan kegiatan kontraproduktif dengan rasa inferioritas dan menjadikan mereka sebagai kiblat. Akan tetapi dengan kembali kepada ajaran Allah ta’ala dan sunnah nabinya Muhammad shollalahu ‘alaihi wasallam. Tentunya dengan konsep yang lebih rasional dan modern, tanpa harus mengorbankan keimanan kita terhadap syariat tersebut atau hanyut dalam modernitas yang bertetangan dengan esensi syariat islam. Dengan tetap mempertahankan tujuan awwal, yaitu menjalankan syariat Allah ta’ala dan sunnah nabinya Muhammad shollalahu ‘alaihi wa sallam dengan ikhlas.Wallahu A’lam.