Penulis : Dr Muhammad Hasan Hitu
Penerbit : Muassasah al Risalah
Tebal : 595 Halaman
Kajian Sistematis Teori Yurisprudensi
Islam
Pengetahuan yang minim
tentang periwayatan hadis, ekstrim dalam menyeleksi riwayat, serta sikap
mendahulukan penalaran analogis(qiyâs jalîy) dibanding riwayat
merupakan serangkaian fakta yang sering menjadi bahan kritikan ahlu hadis
terhadap ahlul ro’yi. Ahlul
hadis mengklaim bahwa hukum yang dicetuskan oleh ahlul ro’yi hanya
berdasarkan asumsi dan rasio an sich. Sedangkan kritik kubu ahlul ro’yi
terhadap kubu ahlul hadis, umumnya menyangkut kelemahan mereka dalam memahami
dalil, penalaran hukum berikut dalam berdialektika. Kubu ahlul hadis
yang begitu menguasai riwayat berikut jalur geneologinya secara terperinci, justru
bertekuk lutut dan bungkam dihadapan para ahlul ro’yi dalam setiap perhelatan
diskusi dan perdebatan. Konsep pencetusan hukum yang berbeda antara kedua kubu
tersebut, acapkali memicu friksi yang tajam antara kedua kubu. Saling kritik
dan perang pemikiran yang terjadi diantara kedua kalangan, mulai menyulut api
perpecahan yang amat menghawatirkan.
Itulah fenomena yang
terjadi di abad kedua hijriah, sampai datang sosok yang mempersatukan kedua
belah kubu, menumpas kelemahan ahlul hadis dalam berargumen, serta sikap
ekstrim dan fanatik kubu ahlul ro’yi. Melalui karya monementalnya al
risalah, Imam Muhammad bin idris al Syafi’I sukses merumuskan metodologi
pencetusan hukum yang sistematis serta mempersatukan kedua kubu yang sebelumnya
saling “berperang” dalam pemikiran jurispundensi Islam[1].
Meski baru menemukan
bentuknya sebagai suatu disiplin ilmu mandiri setelah fiqih berkembang dan
marak sebagai trend keilmuan, namun keberadaan Ushûl al fiqh seakan
merupakan ruh dari keberlangsungan dan perkembangan fiqih itu sendiri. Hal ini
dikarenakan, dalam memahami wahyu ilahi tersebut dibutuhkan seperangakat elemen
yang harus dikuasai agar hukum yang dicetuskan dapat dipertanggungjawabkan
secara ilmiah. Diskursus terhadap elemen-elemen itulah yang oleh para ulama
disebut sebagai ilmu Ushûl al Fiqih.
Sebagai disiplin ilmu yang
diperuntukkan untuk calon-calon mujtahid, mayoritas buku Ushûl al fiqh
dikarang dengan konsep kajian dan penulisan yang amat sulit difahami khususnya oleh
pelajar-pelajar di zaman moderen. Padahal perubahan dan pergeseran budaya yang terus
terjadi menuntut relevansi dan perubahan yang adaptif dari hukum itu sendiri. Diskursus
komprehensif nan simpel tentang ilmu Ushûl al fiqh menjadi sebuah keniscayaan. Atas dasar itulah, Dr Hasan hito menulis
bukunya yang berjudul al Wajîz fî Ushûl al Tasyri’ yang merangkum intisari
dari buku-buku Ushûl al fiqh klasik ke dalam buku ini.
Sebelum memulai
kajian beliau dalam diskursus Ushûl al fiqh, penulis memulai bukunya dengan pengantar
berupa penjelasan singkat tentang terminologi khusus yang digunakan oleh
penulis dalam buku ini. Penulis juga menjelaskan secara spesifik referensi yang
digunakannya berikut dekripsi dari manuskrip referensi-referensi tersebut.
Urgensi dari penjelasan hal-hal ini adalah untuk memudahkan para pengkaji buku
ini dalam melakukan kajian lebih lanjut dengan merujuk langsung dan melakukan
studi komparatif ke sumber-sumber aslinya.
Pada bagian berikutnya
penulis menuturkan motif penulisan buku tersebut dan pengalaman empiris beliau
selama mengkaji dan mengamati paradigma kajian Ushûl al fiqh di zaman moderen
ini. Penulis menguraikan panjang lebar kekurangan hasil pengamatan beliau
terhadap para penuntut ilmu agama di zaman sekarang dibanding dengan ulama
terdahulu khususnya penguasaan mereka terhadap ilmu Ushûl al fiqh. Karena
itulah penulis banyak mempopulerkan dan menta’liq buku-buku Ushûl al
fiqh klasik agar mudah difahami oleh para pelajar sekarang. Pengantar ini diakhiri penulis dengan
menjelaskan metodologi yang digunakan oleh penulis tentang metode kajian dan
penulisan buku ini secara umum.
Pada bab selanjutnya
penulis memulai dengan prolog berupa penjabaran singkat sejarah pra-kodifikasi
ilmu Ushûl al fiqh oleh imam al Syafi’I termasuk polemik yang terjadi di zaman
tersebut. Berikutnya penulis menjelaskan metodologi diskursus dan kodifikasi
yang diterapkan oleh pakar Ushûl al fiqh klasik. Dari sini para pembaca dapat
memahami dengan jelas perbedaan metodologi yang digunakan penulis dengan pakar Ushûl
al fiqh sebelum penulis.
Bab ini diakhiri dengan penjelasan
buku-buku yang paling urgen yang dikarang dalam diskursus ilmu ini berikut
tokoh-tokohnya yang berjasa dalam improvisasi ilmu ini dari satu era ke era
berikutnya. Dalam bab ini penulis melakukan klasifikasi yang cukup unik dan
jarang dibahas oleh ulama sebelumnya dengan mengklasifikasi pakar Ushûl al fiqh
menjadi dua aliran besar, mutakallimin dengan metode deduksinya, serta fuqoha
dengan metode induksinya. Setelah mencantumkan pengantar dan prolog singkat
tersebut, barulah penulis masuk ke pembahasan dasar Ushûl al fiqh dan
penjabarannya di bab berikutnya.
Jika kita
perhatikan isi kajian buku ini, sekilas akan tampak bahwa buku merupakan transformasi-sistematif
dari buku Ghôyah al WUshûl karangan Imam Zakariya al Anshori . Metode
penulisan seperti ini merupakan metode yang diterapkan oleh Musthofa al Khon
dalam menulis bukunya al Fiqh al Manhaji. Jika penulis Fiqh al
Manhaji secara eksplisit menegaskan bahwa buku tersebut merupakan transformasi-sistematis
dari Mughni al Muhtaj karangan Imam Muhammad bin Ahmad al Khotîb al Syirbini, belum ada penegasan dari
penulis bahwa buku ini merupakan sistematisasi dari Ghôyah al WUshûl
karangan Imam Zakariya al Anshori, walaupun tampaknya demikian. Entah apakah
buku ini sengaja disusun dengan berorientasi pada buku tersebut, atau memang kemiripan
ini muncul karena keduanya sama-sama intisari dari buku-buku Ushûl al fiqh
klasik. Sebab seperti yang telah ketahui, Ghôyah al WUshûl merupakan
elaborasi dari lub al WUshûl, sementara lub al WUshûl merupakan
ringkasan dari Jam’u al Jawâmi’ yang merupakan intisari dari seluruh
buku Ushûl al fiqh sebelumnya sebagaimana yang ditegaskan sendiri oleh
penulisnya, Imam Abdul Wahhab bin Ali bin Abdil Kafi al Subki. Hanya saja, buku
al Wajiz ini memiliki cakupan yang lebih sempit yaitu sekitar 46
referensi saja. Namun baik al Fiqh al
Manhaji maupun al Wajiz memiliki satu titik persamaan, dengan
mengkaji keduanya akan memudahkan kita untuk memahami buku yang
disistematisasikan tersebut.
Meskipun
tergolong buku Ushûl al fiqh yang cukup tebal dengan kajiannya yang
luas, namun penulis mengaku buku ini dikarang untuk kalangan pemula. Atas dasar
inilah metodologi penulisan yang diterapkan diorientasikan untuk pemula. Penulis
lebih fokus dalam menyebutkan masalah secara global tanpa membahasa secara
radikal tiap-tiap bab yang ada. Penulis juga membatasi kajian pada pendapat
mayoritas saja tanpa menyebutkan kontroversi pendapat yang ada, hanya saja
penulis menggunakan terminologi tertentu yang mengindikasikan adanya
kontroversi yang telah dijelaskan dalam prolog buku ini, berikut referensi
berbentuk footnote. Hal ini akan sangat membantu bagi yang tertarik untuk
meneliti lebih jauh. Penulis juga tidak menyebutkan keseluruhan landasan normatif dari tiap pendapat yang
diambilnya, penulis hanya menyebutkan dalil-dalil yang dianggap urgen pada tiap
masalah. Namun apabila terdapat kontroversi pendapat di situ, penulis akan
langsung menyanggah argumen dari pihak yang lemah sebagai indikator adanya
perbedaan pendapat, tanpa menyebutkannya secara eksplisit.
Sesuai dengan
komitmen awal penulisan, penulis berusaha menyusun buku ini seringkas mungkin dengan
fokus ke pemahasan-pembahasan yang dianggap urgen untuk pemula. Berbeda dengan buku
Ushûl al fiqh al Islâmi karangan Dr Wahbah al Zuhaili yang di dalamnya
sarat dengan pembahasan ilmu kalam dan kontroversi pendapat antar sekte ilmu
kalam, penulis tidak mencantumkan hal-hal yang tidak memiliki korelasi yang
erat dengan diskursus Ushûl al fiqh seperti ilmu kalam dan semisalnya.
Penulis juga meringkas pembahasan dengan tidak mencantumkan referensi dari
hal-hal yang sudah aksiomatif dalam Ushûl al fiqh yang banyak tercantum dalam
buku Ushûl al fiqh lainnya, gaya penulisan seperti ini memang agak berbeda
dengan karya-karya penulis sebelumnya seperti al Hadîs al Mursal,
Hujiyyatuhu wa Âtsâruhu fi al Fiqh al Islâmi dan al Imâm Syairôzi, Ârouhu
al Ushûliyyah yang sarat dengan footnote berupa referensi dan elaborasi.
Hal lain yang
menjadi keunikan buku ini, penulis tidak melakukan tarjîh pendapat-pendapat
yang saling kontroversi sebagaimana yang dilakukan oleh Dr Wahbah dalam bukunya.
Kalaupun tampak kecondongan beliau terhadap satu pendapat, atau bahkan tampak
seperti tarjîh, beliau akan menjabarkan legalitas pendapat-pendapat
tersebut dengan legitimasi dari pakar Ushûl al fiqh secara detail.
Seperti yang
sebelumnya dijelaskan, buku ini tampak merupakan sistematisasi dari Ghôyah
al WUshûl, maka buku ini memiliki salah satu keistimewaan. Yaitu sifatnya
yang merepresentasikan secara utuh apa yang ada di Ghôyah, namun dengan
format penulisan yang lebih sederhana, serta susunan yang moderen-sistematis
sehingga sangat cocok sebagai batu loncatan untuk memahami Ghôyah al WUshûl yang
terkenal ruwet tersebut.
Sayangnya, buku
yang cukup berharga ini amat sulit ditemukan di pasaran Indonesia. Selain itu, meski
buku ini ditulis untuk pemula, namun bagi yang belum memahami konsep dasar Ushûl
al fiqh disarankan untuk tidak langsung membaca buku ini. Buku ini sangat cocok
dibaca bagi para pelajar yang telah menguasai dasar-dasar Ushûl al fiqh,
terutama bagi yang sedang mengkaji Ghôyah al WUshûl akan sangat terbantu
dengan adanya buku ini. Wallahu a’lam.
I got a suggestion for you. If you start blogging in English, more people will be able to understand the language, meaning that more will visit your site.
ReplyDelete