Komunitas Blogger

Komunitas blogger

El Bashiroh

Majalah El Bashiroh

موقف وسطى تجاه الإنترنت

موقف وسطي تجاه الإنترنت

Wednesday, September 16, 2015

Menyikapi Sisi Manusiawi Seorang Ulama

Tak ada yang meragukan kapasitas keilmuan syekh Yusuf al Qardhawi terutama dalam bidang Fiqih. Tokoh yang menjadi ketua dari persatuan ulama muslimin Internasional (al Ittihad al ‘Alami li al ‘ulama al Muslimin) ini dikenal sebagai ulama yang sangat produktif dan terkenal moderat. Ide beliau tentang wacana fiqih minoritas( al Fiqh al Aqalliyat) adalah bukti keluasan ilmu dan sikap moderat beliau. Meskipun pendapatnya banyak dianggap nyeleneh(syadz), banyak para ulama yang terkesima dengan keluasan ilmunya, tentu saja tidak sedikit juga yang mengkritik. Namun selama ini, pro kontra pemikiran beliau masih dipandang sebagai dialektika dalam ranah intelektual biasa sebagaimana perbedaan pendapat para ulama terdahulu.

Namun kondisi yang berbeda terjadi saat revolusi Arab(Arab Spring) meletus. Revolusi berdarah yang banyak melibatkan pengikut ikhwanul muslimin ini mengundang keberpihakan sikap Qardhawi sebagai bapak spiritual organisasi tersebut. Dalam menyikapi revolusi Suriah, beliau bahkan mengeluarkan fatwa yang membolehkan untuk membunuh semua pihak yang terlibat dalam mendukung pemerintah, baik tentara, rakyat sipil, bahkan ulama(http://www.alalam.ir/news/1457809). Diksi terakhir yang disebutkan oleh Qardhawi ditenggarai khusus ditujukan kepada tokoh ulama besar di Suriah, Syekh Ramadhan al Buthi dan mufti Suriah Syekh Ahmad Badruddin Hassoun yang dikenal berada di pihak pemerintah. Sementara dalam menyikapi revolusi Mesir, beliau adalah kritikus yang paling vokal terhadap kudeta militer berikut penggulingan mantan presiden Mesir Muhammad Mursi. Beliau juga dituding terlibat atas pembebasan beberapa tahanan ikhwanul muslimin dan tindakan beberapa tindakan provokatif lainnya. Akibat dari tindakan beliau tersebut, mahkamah Mesir menjadikan beliau sebagai tersangka dan meminta kepada Interpol untuk merilis red notice yang berisi status buronan beliau(http://classic.aawsat.com/details.asp?section=4&issueno=12813&article=755389#.VJiFNV4gF0).

Pemerintah Mesir tentu memiliki alasan dan bukti yang menurut mereka cukup untuk menjadikan syekh Yusuf al Qardhawi sebagai tersangka. Desakan mereka terhadap Interpol juga dapat dimaklumi karena nampak sulit untuk mendesak pemerintah Qatar untung melepaskan beliau. Namun menurut kami, alangkah baiknya apabila mahkamah Mesir memberikan kebijakan khusus terhadap beliau, mengingat statusnya sebagai ulama yang tentu saja tidak bisa disamakan dengan orang biasa.

Dalam hal ini, al Imam Muhammad bin Abdurrahman al Hubaisyi dalam buku beliau yang bertajuk Nasyruthoy al Ta’rif, mengutip sebuah cerita tentang seorang ahli Qiroat di Baghdad yang bernama ibn Syanabudz. Suatu ketika beliau diketahui merubah beberapa huruf dari al Qur’an yang berbeda dengan redaksi mushaf serta ijma’ ulama, lantas beliau membaca dengan tulisan tersebut dan membacakannya kepada orang-orang. Hal ini memicu sikap ingkar masyarakat dan menghadapkan beliau kepada seorang wazir yang bernama ibn Muqlah. Maka sang wazir memenjarakan beliau dan memberikan hukuman yang keras. Ia memerintahkan kepada algojo untuk memberi pukulan terhadap ibn Syanabudz  agar beliau menarik kembali tindakannya dan bertaubat. Hal tersebut terjadi pada tahun 323 Hijriyyah. Ibnu Syanabudz lantas berdoa ketika menderita pukulan tersebut agar sang wazir dipotong tangannya dan lumpuh saraf-sarafnya. Allah ta’ala kemudian mengabulkan doa tersebut. Ibn Muqlah dipecat dari jabatannya setahun kemudian dan mendapat ujian berupa pukulan dan penghinaan yang hebat, serta lumpuh saraf-sarafnya dan dipotong tangan serta lisannya.

Menurut beliau(imam Abdurrahman al Hubaisyi), tindakan ibn Muqlah didasarkan pada mengingkari hal yang wajib untuk diingkari terhadap setiap orang yang berpedang teguh dengan agama, serta bertujuan untuk mengembalikan ibn Syanbudz kepada kebenaran. Sedangkan Ibn Syanbudz telah melakukan tindakan kemungkaran yang masyhur ketika meriwayatkan bacaan yang berbeda dengan pendapat jumhur ulama. Akan tetapi, kekeliruan beliau dalam satu permasalahan tidak lantas menjatuhkan martabat beliau sebagai pembawa al Qur’an dan ahli ilmu. Menegur beliau dengan lembut adalah lebih tepat demi menjaga martabat ilmu yang beliau miliki. (Nasyrutoy al Ta’rif, Abdurrahman al Hubaisyi, hal 93/ Ma’rifah al Qurrah al Kibar,al Dzahabi/, juz 2 hal 546, al Mursyid, Ibnu Abi Syamah)

Cerita di atas memberi kita pelajaran, bahwa betapapun kesalahan seorang ulama, tidak lantas menjatuhkan martabatnya sebagai pengemban ilmu agama. Dalam konteks syekh Yusuf al Qardhawi, sebaiknya pemerintah Mesir tidak menyamakan perlakuan dan hukuman terhadap beliau sebagaimana perlakuan dan hukuman terhadap pelaku kriminal lainnya demi menjaga martabat beliau dan ilmu yang beliau miliki. Selain itu, potensi beliau sebagai tokoh yang berpengaruh di kalangan ikhwanul muslimin sebenarnya bisa dimanfaatkan untuk balik menyadarkan mereka. Meskipun terkenal sebagai ulama dengan ilmu yang luas, beliau tetaplah anggota ikhwanul muslimin. Sebagaimana diketahui, bahwa setiap golongan akan cenderung fanatik dan kehilangan objektivitasnya jika bersinggungan dengan kepentingan golongannya. Bahkan ulama sekaliber beliaupun tidak luput dari sifat manusiawi ini. Selain memberikan keringanan hukum terhadap beliau, mendudukkan beliau di hadapan sidang para ulama terutama mufti-mufti Suriah akan memberikan efek yang positif untuk menyadarkan pihak pemberontak.

Sisi Manusiawi Ulama Dan Sikap Kita

Ketika fitnah kholqi al Qur’an terjadi di Baghdad, imam Abu Ya’qub al Buwathi termasuk diantara ulama yang berpegang teguh dengan madzhab ahlu sunnah dan mengalami cobaan yang berat. Di sela-sela cobaan tersebut, beliau berkata:

برئ الناس من دمى إلا ثلاثة حرملة والمزنى وآخر
“Manusia seluruhnya tidak memiliki tanggung jawab terhadap darahku kecuali tiga orang, Harmalah, Muzanni, dan seorang lagi

Kisah tersebut diriwayatkan oleh imam Ali bin Abdi al Kafi al Subki dari Ja’far al Tirmidzi(Thabaqat al Syafi’iyyah al Kubro, juz 2 hal 164).

Adalah hal yang mengherankan, cobaan yang berujung kepada syahidnya beliau ternyata tak lepas dari campur tangan ulama lainnya. Sejarah seperti ini tidak hanya sekali terjadi dalam sejarah, di zaman sekarangpun, kita temukan kisah cobaan seorang ulama besar yang ikut andil di dalamnya ulama besar lainnya.

Meskipun banyak pihak yang mengaitkan fatwa Syekh Yusuf al Qardhawi dengan syahidnya Syekh Ramadhan al Buthi, namun hal ini jangan sampai memicu kita untuk menurunkan rasa hormat kita terhadap beliau. Tentu saja Kontra dan kritik adalah hal yang biasa dalam perbedaan pendapat, namun hal tersebut harus tetap dibarengi dengan menjaga adab kita terhadap para ulama. Dalam hal ini, al Imam Ali bin Hasan Ibn Asakir berkata :

اعلم يا أخي وفقنا الله وإياك لمرضاته وجعلنا ممن يغشاه ويتقيه حق تقاته أن لحوم العلماء مسمومة وعادة الله في هتك أستار منتقصيهم معلومة وأن من أطلق لسانه في العلماء بالثلب ابتلاه الله تعالى قبل موته بموت القلب

“Ketahuilah wahai saudaraku, mudah-mudahan Allah memberikan taufiq kepada kita terhadap amal yang mengundang ridhanya. Ketahuilah sesungguhnya daging ulama itu beracun. Dan kebiasaan Allah adalah menyingkap aib atau aurat orang yang biasa membongkar aibnya para ulama. Barangsiapa melepaskan ucapannya terhadap para ulama dengan mencelanya, maka Allah akan timpakan sebelum kematiannya dengan matinya hati.(Tabyin kidzbi al Muftari, Hal 29)

Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda :

اتقوا زلة العالم ولا تقطعوه، وانتظروا فيئته

“Hati-hatilah dengan kekhilafan seorang ‘alim dan jangan memutus hubungan dengannya, dan tunggulah 

Alhasil, Apa yang terjadi diantara para ulama jangan sampai menjadikan kita bersikap kurang ajar kepada mereka. Kewajiban kita terhadap khilaf dan kesalahan mereka adalah memakluminya sebagai sisi manusiawi mereka dan menyerahkan urusan tersebut antara mereka dengan Allah ta’ala. Wallahu a’lam (SY)